Pengembangan Studi Ekonomi Islam di PTAIN: Studi Kasus di IAIN-SU Medan
September 17, 2012
Oleh: Nur A. Fadhil Lubis (Rektor IAIN SU Medan)
A. Pendahuluan
Sejarah menunjukkan, industri keuangan
syari’ah dalam hal ini perbankan, ternyata lebih dulu hadir di Indonesia
ketimbang lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam itu sendiri. Jika
Bank Mu’amalat adalah bank syari’ah pertama di Indonesia itu didirikan
pada 1992, maka pendidikan tinggi ekonomi Islam baru muncul pada 1997.
Hal ini sesungguhnya menunjukkan kesenjangan antara kebutuhan industri
keuangan syari’ah dengan ketersediaan SDM sudah lama berlangsung. Bahkan
sampai hari ini, kesenjangan tersebut masih saja terjadi.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
Universitas Indonesia 2003 diungkapkan bahwa lebih dari 90 % SDM bank
syari’ah saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi
syari’ah. Di samping itu, berdasarkan penyampaian outlook perbankan syari’ah 2007 diketahui bahwa di antara kendala percepatan market share
perbankan syari’ah ialah faktor SDM perbankan syari’ah yang secara
kuantitaif masih kurang, lebih-lebih dari segi kualitasnya yang juga
masih rendah. Menurut Wahyu Dwi Agung (mantan ketua ASBISINDO) dan
Syakir Sula, saat ini baru 10 % saja SDM yang memiliki latar belakang
syari’ah yang bekerja di industri keuangan syari’ah dan yang 90% adalah
berlatar belakang dari industri keuangan konvensional yang “dikarbit”
melalui pelatihan singkat perbankan syari’ah.
Menurut Harisman (Direktur Direktorat
Perbankan Syari’ah BI) dalam 4-5 tahun ke depan dibutuhkan tidak kurang
dari 10 ribu SDM untuk mengisi perkembangan industri keuangan syari’ah
di Indonesia. Data BI menyebutkan lebih tinggi lagi, yakni sekitar 14
ribu. Realita ini menunjukkan dua hal; satu sisi peluang bagi lulusan
pendidikan tinggi ekonomi Islam sangat besar untuk memasuki dunia kerja.
Namun pada sisi lain hal tersebut merupakan tantangan yang harus
dijawab oleh institusi pendidikan tinggi Islam.[1]
Jelas bahwa perkembangan industri
keuangan syari’ah yang demikian pesat, baik dalam bentuk lembaga bank
ataupun non bank ternyata tidak diikuti oleh ketersedian SDM yang
handal. Realitas inilah yang menyebabkan lahirnya lembaga pendidikan
tinggi ekonomi syari’ah, prodi-prodi ekonomi syari’ah baik di lingkungan
PTAIN/S ataupun di perguruan tinggi umum. Demikian juga berbagai bentuk
pelatihan, seminar, workshop dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya
terkait ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini sangat marak dilakukan.
Semuanya dalam rangka menjawab kebutuhan industri keuangan syari’ah
tersebut. Jika dulunya perkembangan lebih terpusat pada perbankan,
belakangan telah semakin meluas meliputi asuransi dan unit usaha
lainnya. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tinggi Islam, baik itu
PTAIN atau PTAIS sama-sama ditantang untuk mampu menyiapkan SDM syari’ah
yang handal dan unggul.
IAIN-SU sejak tahun 1990-an sebenarnya
sangat menyadari bahwa ekonomi syari’ah pada satu saat, tidak saja
menjadi alternatif tetapi menjadi pilihan dunia dalam upaya menciptakan
tatanan sosial ekonomi yang adil. Krisis ekonomi yang berlangsung di
berbagai belahan dunia, sebagaimana yang diramal banyak pakar,
sesungguhnya menunjukkan momentum kebangkitan ekonomi Islam dan
memudarnya pesona – untuk tidak mengatakan matinya – sistem ekonomi
kapitalis.
Adalah Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics
(1994) menyatakan ilmu ekonomi yang dibanggakan ternyata gagal
meramalkan keadaan-keadaan terburuk yang akan dialami oleh manusia. Di
Eropa Barat awal 1990 terdapat 20 juta penganggur dan ilmu ekonomi yang
disebutnya ortodoks telah gagal meramalkannya. Demikian juga di Amerika
yang dilanda defisit anggaran dan perdagangan, kemelut ekonomi dan
resesi yang melanda Uni Soviet, Jepang dan Jerman merupakan bukti bahwa
ilmu ekonomi lagi-lagi gagal meramalkannya.[2]
Demikian juga Khursid Ahmad dalam pengantarnya untuk buku Umer Chafra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, dengan
cukup baik menjelaskan kegagalan ilmu ekonomi kapitalis. Dengan
mengutip Thomas Friedman, Robert Heirbronner, Amitai Etzioni dan
beberapa pakar lainnya menyimpulkan paradigma ekonomi, yang telah
berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar
teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan
kemampuannya untuk berhasil memprediksi perilaku di masa yang akan
datang, saat ini sedang ditantang. Paradigma yang harus dirubah itu
adalah, utilitarian, rasionalistik, dan individualistik, neo-klasik yang
diterapkan bukan saja pada perekonomian tetapi juga semakin meningkat
pada berbagai aturan relasi sosial lainnya.[3]
Kritik yang disampaikan pakar-pakar
ekonomi dunia baik yang berlatar belakang konvensional ataupun Islam
menunjukkan satu kesimpulan yang sama. Sistem ekonomi yang tidak
dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan (etika dan moral) cepat atau
lambat akan mengalami kehancurannya.
Namun harus disadari, kendatipun saat ini
kita memasuki era ekonomi syari’ah, bukan berarti konstruk keilmuan
ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam itu sudah selesai. Kita harus jujur,
saat ini kita sedang berupaya untuk merumuskan keilmuan ilmu ekonomi
syari’ah. Beberapa seminar yang berlangsung sepanjang tahun 2011-2012,
khususnya yang menyangkut arsitektur ekonomi Islam, masih saja
menunjukkan kegamangan kita dalam mengkaji ilmu ini. Dari sisi
nomenklatur saja belum ada kesepakatan; hal ini tercermin dari dua kutub
penamaan, kelompok yang pro dengan istilah ekonomi syari’ah dengan
pihak yang cenderung memakai istilah ekonomi Islam. Implikasinya lebih
jauh, prodi-prodi ekonomi Islam yang ada di berbagai PTAIN/S dari sisi
penamaannya sangat beragam. Tentu tidaklah relevan untuk membandingkan
ilmu ekonomi konvensional yang sudah berusia ratusan tahun dan karenanya
telah mapan, dengan ilmu ekonomi Islam yang masih baru. Pakar-pakar dan
ahli ekonomi Islam harus terus menerus menggali, mengkaji dan
merumuskan bangunan ilmu ekonomi Islam yang tidak saja kokoh dari sudut
epistemologinya namun juga responsif terhadap kebutuhan pasar.
Dalam konteks persoalan yang telah
dikemukakan di atas, yaitu kesenjangan yang terjadi antara industri
keuangan syari’ah yang terus berkembang dengan ketersediaan SDM syari’ah
yang dirasa masih sangat kurang, maka pendidikan adalah cara yang
paling masuk akal untuk mengatasinya. Namun menurut hemat saya,
kesenjangan bukan hanya terjadi pada sisi ini. Persoalan yang tidak
kalah pentingnya untuk kita perhatikan adalah pada dimensi tenaga ahli
atau pakar dalam bidang ekonomi Islam. Sejatinya, pendidikan tinggi
ekonomi Islam tidak hanya menyiapkan tenaga-tenaga peraktis yang bisa
bekerja di industri keuangan syari’ah tetapi juga harus menyiapkan ahli
yang diharapkan dapat membangun dan mengembangkan sisi keilmuan ekonomi
syari’ah. Dari tangan merekalah nantinya akan lahir praktisi-praktisi
ekonomi syari’ah yang unggul.
Sampai di sini, keberadaan program studi
strata 3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam menjadi satu keharusan.
Seminar yang kita lakukan pada hari ini adalah langkah awal yang baik
dalam rangka pembukaan program S3 ekonomi Islam PPS IAIN-SU.
Mudah-mudahan pemikiran yang berkembang dalam forum ini dapat dijadikan
masukan bagi pengelola program nantinya.
- B. Ekonomi Islam di IAIN-SU: Perjalanan Panjang Menuju Keunggulan
Wacana ekonomi Islam yang berkembang di
IAIN.SU sejak tahun 1990-an ditandai dengan lahirnya sebuah forum kajian
yang disingkat dengan FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam).
Lahirnya forum ini terkesan unik. Di dalam laporan Edisi Khusus Gatra
tahun 2007 diceritakan bahwa pada penghujung 1980-an, isu penggunaan
lemak babi dalam produk makanan tertentu yang diproduksi secara massal
menginspirasi banyak sarjana ekonomi di Medan, seperti Prof. H.S
Hadibroto dan Prof. Bahauddin Darus dari FE. USU serta mantan dirut
PTPN, H.S. Pulungan untuk membuat semacam lembaga kajian ekonomi Islam.
Pada awalnya, forum ini dimaksudkan hanya untuk tempat berdiskusi yang
aman, murni relijius dan ilmiah hingga tidak dianggap makar. Sebagaimana
dipahami, situasi politik pada saat itu sangat represif. Islamic phobia
(ketakutan terhadap simbol-simbol Islam) masih sangat kuat dan begitu
mengakar di pikiran tokoh-tokoh Orde Baru. Di samping itu, kehadiran
ekonomi Islam dianggap sebagai protes terhadap ekonomi Pancasila yang
sedang dikembangkan pemerintah orde baru. Pada awalnya USU diminta
menjadi markas resmi pusat kajian itu. Namun Rektor USU kendatipun
sangat respon terhadap lembaga kajian ekonomi Islam namun tidak bersedia
jika USU dijadikan tempat berkumpul. Permintaanpun diajukan ke UISU
(Universitas Islam Sumatera Utara) namun kondisinya juga sama. Bahkan
MUI, kendati menyambut hangat kelahiran FKEBI, namun tetap saja tidak
bersedia kantornya dijadikan sebagai markas. Satu-satunya harapan hanya
IAIN-SU yang saat itu dipimpin oleh Drs. H. Nazri Adlani. Akhirnya
Rektor IAIN-SU bersedia dengan syarat ketuanya harus dari IAIN. Akhirnya
Prof. M. Yasir Nasution ditunjuk untuk menjadi ketua FKEBI yang
pertama.[4]
Sejak saat itu, secara berkala, FKEBI
melangsungkan berbagai macam kegiatan baik dalam bentuk pelatihan
ataupun seminar-seminar. Kegiatan bersejarah pertama yang dilakukan
FKEBI adalah Seminar dan Workshop Ekonomi Islam dengan tema “Ekonomi dalam Perspektif Islam,” bekerjasama
dengan UIA Malaysia dan IKIM pada tanggal 25-28 Oktober 1993. Ketua
Panitia Seminar tersebut dijabat oleh Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA.
Hadir sebagai nara sumber pada saat itu adalah, Zakaria Man (UIA), Syed
Omar Bin Syed Agil, Aidit bin Haji Ghazali, Syed Abdul Hamid Al-Junaid,
Syed Othman Alhabsi (IKIM), Dziyauddin bin Haji Ahmad (UIA). Sedangkan
dari Indonesia sebagai nara sumber hadir pula, Muhammad Syafi’i Antonio.
Seminar tersebut menghasilkan tiga rancangan konseptual. Pertama, Berkaitan dengan kurikulum dan pemasyarakatan ilmu ekonomi Islam dalam rangka pembukaan Fakultas Ekonomi Islam. Kedua, pendirian lembaga-lembaga keuangan. Ketiga, membangun kerjasama antar lembaga.[5]
Kegiatan penting lainnya adalah
pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengelola BPRS (Bank Perkereditan
Rakyat Syari’ah). Lulusan dari pelatihan inilah yang menjadi tenaga
profesional di berbagai BPRS yang lahir di Sumut seperti BPRS Kafalatul
Ummah (1994) Medan-Binjai, BPRS Amanah Bangsa (1994) di Siantar, BPRS
Al-Washliyyah (1994) Medan, BPRS Gebu Prima (1996) dan BPRS Puduarta
Insani (1996) Tembung Deli Serdang.[6]
Jika hari ini IAIN-SU memiliki BPRS Puduarta Insani dan satu-satunya
perguruan tinggi Islam yang memiliki Bank, itu adalah hasil kerja keras
FKEBI dan pimpinan IAIN-SU kala itu.
Penting dicatat, seminar yang bersejarah
tersebut diselenggarakan setelah MUI berhasil melahirkan bank Syari’ah
pertama di Indonesia. Menurut Adiwarman Karim, upaya MUI untuk mendorong
lahirnya Bank Syari’ah sudah berlangsung sejak tahun 1990. Bahkan
pendirian Bank Syari’ah tersebut telah pula ditandatangani pada 1
November 1991, tetapi belum dapat beroperasi karena undang-undang
perbankan belum memungkinkan. Ketika UU No 7 Tahun 1992 diterbitkan pada
1 April 1992, tepat satu bulan kemudia 1 Mei 1992, bank Syari’ah
pertamapun beroperasi.[7]
Tidak berlebihan jika disebut FKEBI
IAIN-SU saat itu tampil menjadi lokomotif kajian dan gerakan ekonomi
Syari’ah. Dikatakan kajian karena FKEBI kerap melakukan berbagai macam
seminar-seminar baik dalam skala nasional ataupun internasional.
Pakar-pakar Ekonomi Islam Dunia banyak yang sudah hadir di Medan. Sebut
saja misalnya Prof. Dr. M. A. Mannan[8], Prof. Dr. Masudul Alam Choudry[9], Umar Vadillo[10].
Selanjutnya dikatakan FKEBI sebagai gerakan karena memang FKEBI juga
ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah propinsi Sumatera Utara untuk
mengembangkan Ekonomi Syari’ah. Kegiatan yang monumental dalam konteks
gerakan ini adalah Pencanangan Gerakan Ekonomi Syari’ah pada bulan
Muharram yang langsung dimotori oleh Pemerintah Propinsi Sumut di bawah
kendali T. Rizal Nurdin selaku gubernur. Kegiatan tersebut oleh K.H.
Ma’ruf Amin dalam satu kesempatan disebut-sebut sebagai kegiatan pertama
di Indonesia.
Selanjutnya, lahirnya Program Studi
Diploma III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah (MPKS) pada tahun
1998 dapat dijadikan momentum sebagai dimulainya kajian ekonomi syari’ah
secara akademis. Program DIII MPKS adalah lanjutan Program Diploma II
Fak. Syari’ah IAIN-SU yang lahir dua tahun sebelumnya (1996).
Peningkatan status program D II ke D III sebenarnya didasarkan pada
pertimbangna pasar. Tampaknya, lulusan DIII lebih memiliki peluang yang
lebih luas untuk memasuki pasaran kerja ketimbang lulusan D II. Saat ini
jumlah mahasiswa Program DIII MPKS sejak tahun akademik 2007-2012
berjumlah 570 mahasiswa, sedangkan alumninya sampai tahun 2012 berjumlah
447 orang dan telah terserap di berbagai industri keuangan syari’ah dan
bidang-bidang bisnis lainnya.
Satu hal yang menarik untuk kasus
pendidikan tinggi ekonomi Islam di IAIN.SU adalah, program pasca sarjana
(PPS) strata 2 prodi Ekonomi Islam lebih dahulu lahir ketimbang program
S1 nya. Program S2 IAIN-SU lahir pada tahun 2000 dengan jumlah
mahasiswa angkatan pertama sebanyak 20 orang.[11]
Program S1 Ekonomi Islam lahir dua tahun setelah lahirnya S2, tepatnya
tahun 2002 dengan jumlah mahasiswa pertama sebanyak 39 orang. Sampai
saat ini jumlah mahasiswa S2 sampai tahun 2012 sebanyak 300 orang dengan
jumlah mahasiswa aktif sebanyak 75 orang dan yang non aktif (dalam
tahap penyelesaian tesis) sebanyak 98 orang. Sedangkan alumninya
sebanyak 105 alumni. Adapun alumni S2 EKI saat ini banyak yang bertugas
sebagai pengajar atau dosen di berbagai perguruan tinggi di Sumatera
Utara. Sedangkan yang lain memilih untuk memasuki dunia kerja, walaupun
dalam arti yang sederhana.
Sebagaimana yang telah disebut di muka, S1 Ekonomi Islam IAIN-SU dibuka pada tahun 2002[12].
Program Studi Ekonomi Islam ini ternyata mendapat sambutan yang sangat
baik dari masyarakat Sumatera Utara dan sekitarnya. Data statisitik
menunjukkan adanya trend peningkatan minat mahasiswa baru untuk memilih
program ini. Rata-rata setiap tahun ajaran, jumlah pelamar untuk S1
program studi Ekonomi Islam mencapai angka 700-800 pelamar. Adapun daya
tampung Program ini lebih kurang 5 lokal atau 200 mahasiswa setiap
tahunnya. Sebelumnya, kita hanya bisa menampung 120 orang mahasiswa atau
3 lokal setiap tahun akademik baru.
Untuk menjaga kualitas program, Program
Studi Ekonomi Islam sejak awal pendiriannya menggunakan jasa konsultan
yang ahli dalam bidang ekonomi Islam yaitu Ir. Adiwarman A. Karim, SE,
MBA, MAEP dari Karim Business Consulting Jakarta, Prof. Dr. Mohd. Azmi
Omar dari Islamic International University Malaysia (IIUM) di Malaysia
dan Prof. Sofyan Syafri Harahap, SE.Ak, MASc, Phd (alm), Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Direktur Islamic Economic and Finance (IEF)
Universitas Trisakti Jakarta. Saya perlu memberi catatan di sini, peran
Ir. Adiwarman A Karim cukup signifikan dalam membantu terselenggaranya
program S1 Ekonomi Islam. Beliau tidak saja menyusun kurikulum beserta
topik intinya tetapi juga ikut menyiapkan buku-buku yang digunakan dalam
prodi EKI. Hal ini penting saya sampaikan, karena pada saat itu kita
tidak memiliki contoh atau model S1 Ekonomi Islam, karena program studi
ini belum ada di Indonesia. Keberanian Prof. Dr. Amiur Nuruddin, MA
mengambil langkah-langkah strategis, yang dalam hal-hal tertentu tanpa
payung hukum, membuat program tersebut menjadi mungkin berjalan dan
dapat eksis sampai hari ini.
Sejak awal berdirinya, kita telah
menggariskan bahwa Visi Program Studi Ekonomi Islam adalah, “Unggul dan
terkemuka dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu ekonomi
Islam bagi kesejahteraan umat manusia (human falah)”.
Sedangkan misinya adalah (1) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan
dan pengajaran ilmu ekonomi Islam dan perbankan syari’ah dalam berbagai
aspek dengan menggunakan standar metodologi keilmuan modern secara
profesional. (2) Melaksanakan pembinaan sumber daya manusia memasuki
dunia kerja dengan mengacu pada sistim pendidikan terpadu yang berbasis
kompetensi dengan tujuan mendukung aplikasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan pada umumnya. (3) Menanamkan kesadaran profesional akan
pendekatan-pendekatan baru dalam membangun ilmu pengetahuan ekonomi,
perbankan syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah non bank. (4)
Meningkatkan dan mengembangkan penelitian dan pengkajian di bidang
ekonomi Islam, khususnya perbankan syari’ah dalam rangka memperkokoh
Program Studi ekonomi Islam. (5) Menjalin kerjasama secara produktif
dengan berbagai lembaga perbankan dan lembaga lainnya.
Demikianlah, atas kerja keras Pimpinan
Fakultas Syari’ah dan Program studi Ekonomi Islam-D3 MPKS, untuk yang
pertama kalinya kedua prodi tersebut telah terakreditasi di BAN PT
dengan nilai B[13].
Demikian juga untuk S2 juga telah terakreditasi di Ban PT dengan nilai
B. Pada masa-masa yang akan datang, diharapkan Program Studi ekonomi
Islam yang telah ditetapkan sebagai program unggulan IAIN-SU baik untuk
tingkat D3, S1 dan S2 dapat mencapai nilai A. Sampai di sini,
peningkatan kualitas lulusan, tenaga pengajar, kurikulum yang unggul dan
responsive terhadap perkembangan zaman serta kelengkapan sarana dan
prasarana menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah tiga program Studi Ekonomi Islam
yang kita miliki, mulai dari Diploma Tiga, Starat 1 dan 2, kini program
studi ekonomi Islam kita menjadi sangat lengkap dengan keluarnya izin
penyelenggaraan S3 Ekonomi Syari’ah melalui SK Dirjen Pendis nomor 890
tahun 2012 yang ditandatangai tanggal 23 Juli 2012. Izin prodi S3 ini
sesungguhnya menunjukkan betapa pemerintah dalam hal ini kementerian
Agama sangat mempercayai bahwa IAIN-SU pantas dan layak untuk mengelola
program studi Ekonomi Islam di semua level tingkatan. Lebih dari itu,
hal ini juga menunjukkan bahwa IAIN-SU sangat tepat menjadikan Ekonomi
Islam sebagai program studi unggulannya. Tinggal lagi sekarang, apakah
kita mampu membuktikan kepercayaan yang telah diberikan ini dan
benar-benar menjadikan IAIN-SU menjadi kiblat kajian dan pengembangan
ilmu ekonomi Islam.
- C. Arah Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam IAIN-SU
Sebagaimana telah disebut di awal makalah
ini, salah satu kendala yang menyebabkan perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia terkesan lambat, kendati trendnya terus meningkat adalah
persoalan Sumber daya manusianya. Tidak dapat dipungkiri, human intellectual capital
memainkan peran penting dalam mendorong kinerja dan daya saing. Inovasi
di industri keuangan secara umum dan keuangan syari’ah khususnya
membutuhkan tersedianya kepakaran (expertise) dan keahlian (skill).
Bukan hanya aspek operesional, tenaga professional juga diperlukan
untuk mendukung penelitian dan pengembangan guna memperkuat kapasitas
dalam berinovasi.[14]
Menurut Syafi’i Antonio, professional
yang dibutuhkan dalam industri keuangan syari’ah agak unik dibandingkan
dengan industri konvensional. Para professional di industri keuangan
syari’ah dituntut memiliki kompetensi keilmuan dan skill yang
“men-senyawa-kan” ilmu syari’ah dan keuangan. Prinsif syari’ah harus
“larut” dalam aspek opresional LKS, termasuk dalam mendesain
produk-produk perbankan dan struktur keuangan syari’ah, akad keuangan
dan pelaksanaannya, manajemen likuiditas dan neraca, dan manajemen
resiko.[15]
Idealnya, program studi ekonomi Islam di IAIN-SU khususnya pada strata 1 dan strata 2 harus menguasai; Pertama,
menguasai aspek teknis profesi. Sebut saja misalnya, di bidang
akuntansi perbankan, alumni ekonomi Islam IAIN-SU khususnya prodi atau
konsentrasi akuntansi syari’ah harus menguasi aspek teknis bidang ini
secara utuh dan teruji. Kedua, Menguasi aspek filosofis ekonomi
Islam. lulusan ekonomi Islam sejatinya tidak hanya menguasi “kulit luar”
ekonomi Islam, tetapi juga nilai-nilai filosofi yang mendasari setiap
ajaran juga harus dipahami dengan baik. Dengan cara ini sebutan bankir
syari’ah “muallaf” tidak lagi terdengar. Ketiga, menguasi aspek
fikih ekonomi Islam. dengan kata lain inilah yang disebut aspek
normative ekonomi Islam. indikasinya, alumni Ekonomi Islam menguasai
dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an ataupun Al-Hadis dan dapat
menjelaskannya dengan baik. Keempat, menguasai ilmu ekonomi
konvensional setidaknya yang bersifat umum dan menjadi bidang
keahliannya. Setidaknya aspek mikro dan makro ekonomi konvensional harus
dipahami dengan baik. Kelima, alumni ekonomi Islam yang dihasilkan IAIN.SU juga harus memiliki integritas yang tinggi serta moral yang teruji.
Dari paparan di atas, tergambar dengan
jelas, tuntutan keahlian dan keilmuan terhadap lulusan penddikan tinggi
ekonomi Islam lebih berat dibanding dengan lulusan ekonomi konvensional.
Hal inilah yang menyebabkan beban SKS baik dari sisi kuantitas juga
bobot mata kuliah terasa lebih besar.
Dengan jumlah dosen tetap ekonomi Islam
di IAIN-SU yang hari ini jumlahnya lebih kurang 27 orang, dengan
klasifikasi satu guru besar ekonomi Islam 3 Doktor dan 4 calon Doktor
(tahap penulisan disertasi), 22 magister dari berbagai disiplin ilmu
ekonomi dan bisnis, terasa masih sangat kurang. Untuk itulah,
peningkatan kualitas dosen baik lewat peningkatan strata pendidikan, S2
dan lebih-lebih S3 menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Salah satu yang mendasari urgensi di
bukanya program Studi S3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam ini adalah
dalam rangka peningkatan kualitas dosen ekonomi Islam baik di PTAI atau
di perguruan tinggi umum yang memiliki prodi atau peminatan ekonomi
Islam. Jika merujuk kepada data alumni S2 IAIN-SU -belum termasuk alumni
S2 IAIN/UIN dan FE umum lainnya- dengan jumlah alumni 105 orang
menunjukkan besarnya potensi program ini untuk berkembang. Apabila 50 %
saja alumni S2 EKI melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3, berarti kita
akan memiliki 50 orang doktor Ekonomi Islam dalam jangka waktu 10-15
tahun ke depan. Pada gilirannya, kualitas pendidikan tinggi ekonomi
Islam kita akan semakin kuat dan implikasinya lebih jauh adalah
akselerasi pengembangan ekonomi Islam umumnya dan industri keuangan
syari’ah pada khususnya dapat dipacu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana
kita membuat Program Studi Doktor (S3) ekonomi Islam ini benar-benar
unggul. Jika pada tingkat S1 dan S2 kita melahirkan tenaga-tenaga
professional (mujahid al-iqtishad), maka pada S3 kita sesungguhnya akan melahirkan pemikir dan filosof ekonomi Islam atau kita sebut dengan mujtahid fi al-iqtishad. Oleh sebab itu penguasaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Syari’ah menjadi niscaya.
Harus disadari, perkembangan ekonomi
syari’ah yang demikian pesat, pada satu sisi harus disyukuri. Namun pada
sisi lain, kita juga harus waspada jangan sampai ekonomi syari’ah
mengalami penyempitan makna. Saya ingin mengutip orasinya Prof. Sri-Edi
Swasono dalam Workshop Nasional Arsitektur Ekonomi Islam di Jakarta
beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan,
“Namun compatibility Ekonomi
Syari’ah terhadap ekonomi Pancasila akan makin surut apabila (sedang
popular saat ini) Ekonomi Syari’ah direduksi dan lebih terpusatkan hanya
pada upaya membangun bank-bank syari’ah, seterusnya riba hanya ditinjau
dari segi bunga perbankan saja. Riba justru hidup subur di dalam system
ekonomi yang eksploitatori secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan
kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade-off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah, yang tersubordinasi dan terdiskriminasi, yang membiarkan brutalitas laissez-faire
dalam arti luas, yang justru diabaikan oleh mereka yang lengah oleh
eforia dalam mengembangkan bank-bank syari’ah tanpa memperhatikan
perlunya dekonstruksi dan restrukturisasi system ekonomi yang usurious.[16]
Kritik Sri Edi Swasono sebagai ahli
ekonomi Pancasila, Penasehat Menteri PPN/Bappenas dan Guru Besar UI,
menarik untuk diperhatikan. Jika kita analisis, perkembangan bisnis
syari’ah belakangan ini yang demikian massif, patut membuat kita
bergembira. Saya mencatat, laporan Majalah Gatra edisi khusus lebaran
2006 dengan tema, “Spirit Ekonomi Santri,” Edisi Khusus Lebaran 2007 dengan tema, “Booming Bisnis Syari’ah” dan Edisi Khusus Lebaran 2011, dengan tema “Napas Islam Industri Kreatif”
menunjukkan perkembangan bisnis Syari’ah yang sangat spektakuler.
Bisnis Islam tidak saja terpaku pada persoalan Bank-bank Syari’ah,
Asuransi Syari’ah, Sekuritas, Pasar Modal, MLM Syari’ah, Pegadaian,
Koperasi, Dinar Dirham, Wakaf, dan Zakat. Tetapi sudah memasuki wilayah fashion
syari’ah, salon muslimah, kosmetik syari’ah, software Islami,
Situs-situs Islami, sastra religious seperti terlihat pada penerbitan
novel-novel Islami, biro perjalanan wisata spiritual, film-film religi,
Animasi syari’ah, seni rupa Islami dan sebagainya. Inilah yang disebut
dengan industri kreatif Islami. Tanpa mengabaikan pencapaian-pencapaian
tersebut, sesungguhnya kita layak bertanya. Apakah ekonomi Islam
berhenti pada tataran berkembangnya bisnis-bisnis syari’ah yang
mengedepankan simbol-simbol Islam?.
Hemat saya, semestinyalah kita
mengembalikan ruh ekonomi Islam itu dalam upaya penciptaan masyarakat
yang adil, makmur dan sejahtera. Kerja besar ekonomi Islam adalah
bagaimana menghilangkan ketimpangan dan kesenjangan sosial yang begitu
kuat di tengah-tengah masyarakat kita. Bukankah kehadiran Al-Qur’an
khususnya ayat-ayat pada priode Makkah adalah dalam rangka menggugat
struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyyah yang timpang dan sekaligus
memberikan jalan keluar dari problema sosial itu. Kita harus dapat
membuktikan bahwa aplikasi ekonomi Syari’ah pada gilirannya akan
menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera (human falah dan masyarakat falah) sebagai masyarakat ideal yang didambakan Al-Qur’an.
Sekali lagi, sampai di sini, kita memang
memerlukan filosof-filosof ekonomi Islam atau mujtahid-mujahid ekonomi
Islam yang diharapkan dapat menguatkan dan mengawal perkembangan ekonomi
Syari’ah sesuai dengan khittahnya. Saya setuju dengan kesimpulan Sri
Edi Swasono bahwa kita memerlukan paradigma baru dalam ilmu ekonomi.
Jika diperhatikan, tawaran yang diberikannya sesungguhnya sangat
kompatibel dengan ekonomi Syari’ah. Pemikirannya tentang perlunya
meninggalkan titik-tolak manusia sebagai homo-economicus, menuju homo ethicus, homo-socious, homo-religious, dan homo humanus,
menjadikan manusia (ummat) yang harus diperankan dalam posisi
“sentral-substansial” tidak boleh direduksi oleh modal menjadi sekedar
“marginal residual” –untuk menyebut beberapa diantaranya- adalah nama
lain dari ekonomi Syari’ah, walaupun ia tidak menyebut istilah ekonomi
syari’ah.[17]
- D. Intelektual Baru: Integrasi, Hibrida dan Kosmopolitanisme
Berbagai gebrakan keilmuan yang berpusat
pada PTAIN telah menjadi perhatian banyak pakar dan lembaga dalam dan
luar negeri. Fenomena ini telah dikemukakan oleh hasil penelitian
terhadap dampak tamatan luar, terutama dari Kanada, terhadap arah
kemajuan keilmuan di perguruan tinggi Islam negeri di berbagai daerah,
yang pada gilirannya juga berdampak pada wacana keilmuan di negeri
berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini. Hasil penelitian kerjasama
CIDA Kanada dan PPIM UIN Jakarta pada awal 2000an telah mengemukakan hal
ini.[18]
Hal ini diperkuat kembali oleh penelitian Carool Kersten dari School of Oriental and African Studies (SOAS), London.[19]
Kersten menyimpulkan bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia,
terutama dimotori oleh IAIN, telah menghasilkan cendekiawan baru yang
‘unik’, hasil dari suatu ‘cultural hybridity’ antara keunggulan tradisi keilmuan Muslim dan kecanggihan kemajuan kepakaran Barat.
Hibriditas ini berhasil tumbuh berkembang
cukup baik karena PTAIN relatif mampu menciptakan suasana akademis yang
mendukung, interaksi yang sinergis antara berbagai unsur yang bertemu,
serta kondisi yang non-sektarian, bahkan kosmpolitan dan integratif.
Kosmopolitan, menurut Kersten, ditandai antara lain bukan saja dengan
terlampauinya peninggalan cara pandang orientalisme dan/juga
oksidentalisme, tetapi juga sikap terbuka terhadap capaian pihak lain.
Integrasi bukan saja karena terjadi sinergi antara warisan keilmuan
klasik umat Islam (turath) dengan temuan baru kesarjanaan kontemporer, tetapi juga pengayaan pendekatan yang mengarah pada berkembangnya ‘transdisciplinarity’ yang menjanjikan.[20]
Trend lain yang menarik adalah
bergesernya fokus perhatian berbagai pengkajian Islam di lembaga-lembaga
pendidikan umat Islam negeri ini tidak hanya tertumpu pada nostalgia
terhadap kejayaan masa lalu, tetapi upaya gigih untuk merebut kesempatan
masa kini dan menjawab tantangan masa depan. Perhatian PTAIN tidak
hanya berkutat pada permasalahan teoritis, tetapi telah meluas pada
upaya terapan praktis dalam menjawab kebutuhan lokal dan regional masa
kini dan menjawab tantangan masa depan.[21] Hal ini paling menonjol terlihat terutama pada aspek perekonomian dan kesejahteraan umat Islam.
Apa yang ditemukan oleh peneliti inilah
tampaknya yang berkembang di IAIN-SU. Perkembangan akhir terkait hal ini
adalah telah ditandatanganinya kesepakatan (MOU) empat IAIN, yang lazim
disebut ‘4-in-1’, yakni Semarang, Palembang, Mataram dan Medan yang
antara lain menyepakati bahwa program studi unggulan IAIN-SU adalah
ekonomi dan bisnis Islam. Tindak lanjut kongkritnya adalah sudah
diajukannya proposal penyapihan semua bidang kajian ekonomi dan bisnis
menjadi fakultas yang berdiri sendiri (Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam).[22]
Ini merupakan konsekuensi logis dari telah berkiprahnya dengan baik
program pendidikan diploma, S1, S2 dan S3 ekonomi dan bisnis syari’ah
serta berbagai lembaga dan kegiatan terkait lainnya.
- E. Catatan Penutup
Program Doktor Ekonomi Islam nantinya
diharapkan dapat melahirkan doktor-doktor yang menguasi dengan sangat
baik ilmu ekonomi Syari’ah. Penguasaannya itu sama pula baiknya dengan
pemahamannya terhadap ilmu ekonomi konvensional dan juga yang
kontemporer. Hemat saya, kerangka berpikir Umer Chafra layak untuk kita
pertimbangkan. Izinkan saya mengutip apa yang disampaikan Chafra sebagai
berikut:
To say that the effort to creat
Islamic Economics lead to isolationism is true only if arrogance and
bigotry prevail in either one of the two disciplines and prevent mutual
interaction. A rational and amicable discussion of different worldviews
and disciplines may, in fact, promote greater depth and breadth in the
analysis of both disciplines through cross pollination, and thus make
the world richer and better off. Feyerabend is, hence, right in
asserting that the conformity impairs its critical power. Uniformity
also impairs the free development of the individual.[23]
Hemat saya tidak pada tempatnya kita
menjadikan ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam dalam posisi
yang saling berhadap-hadapan. Lebih-lebih saling menafikan dan
menunjukkan keunggulannya masing-masing dalam posisi zero-sum game dan quid pro quo. Gagasan IAIN-SU untuk melakukan integrasi keilmuan dan lebih pada aspek axiologis, dalam artian upaya mewujudkan intelektual ulu al-albab[24] adalah
pilihan yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman dan dengan
peluang yang terbuka dan tantangan yang berkembang. Ini lebih utama dan
menonjol di dalam bidang ekonomi. Semoga Program Doktor yang lahir di
IAIN-SU ini mampu untuk memberikan kontribusi positifnya dalam
pengembangan ilmu ekonomi Islam ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar