Selasa, 29 Januari 2013

Pengembangan Studi Ekonomi Islam di PTAIN: Studi Kasus di IAIN-SU Medan

Leave a comment

Oleh: Nur A. Fadhil Lubis (Rektor IAIN SU Medan) 

A.   Pendahuluan
Sejarah menunjukkan, industri keuangan syari’ah dalam hal ini perbankan, ternyata lebih dulu hadir di Indonesia ketimbang lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam itu sendiri. Jika Bank Mu’amalat adalah bank syari’ah pertama di Indonesia itu didirikan pada 1992, maka pendidikan tinggi ekonomi Islam baru muncul pada 1997. Hal ini sesungguhnya menunjukkan kesenjangan antara kebutuhan industri keuangan syari’ah dengan ketersediaan SDM sudah lama berlangsung. Bahkan sampai hari ini, kesenjangan tersebut masih saja terjadi.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia 2003 diungkapkan bahwa lebih dari 90 % SDM bank syari’ah saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi syari’ah. Di samping itu, berdasarkan penyampaian outlook perbankan syari’ah 2007 diketahui bahwa di antara kendala percepatan market share perbankan syari’ah ialah faktor SDM perbankan syari’ah yang secara kuantitaif masih kurang, lebih-lebih dari segi kualitasnya yang juga masih rendah.  Menurut Wahyu Dwi Agung (mantan ketua ASBISINDO) dan Syakir Sula, saat ini baru 10 % saja SDM yang memiliki latar belakang syari’ah yang bekerja di industri keuangan syari’ah dan yang 90% adalah berlatar belakang dari industri keuangan konvensional yang “dikarbit” melalui pelatihan singkat perbankan syari’ah.
Menurut Harisman (Direktur Direktorat Perbankan Syari’ah BI) dalam 4-5 tahun ke depan dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM untuk mengisi perkembangan industri keuangan syari’ah di Indonesia. Data BI menyebutkan lebih tinggi lagi, yakni sekitar 14 ribu. Realita ini menunjukkan dua hal; satu sisi peluang bagi lulusan pendidikan tinggi ekonomi Islam sangat besar untuk memasuki dunia kerja. Namun pada sisi lain hal tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh institusi pendidikan tinggi Islam.[1]
Jelas bahwa perkembangan industri keuangan syari’ah yang demikian pesat, baik dalam bentuk lembaga bank ataupun non bank ternyata tidak diikuti oleh ketersedian SDM yang handal. Realitas inilah yang menyebabkan lahirnya lembaga pendidikan tinggi ekonomi syari’ah, prodi-prodi ekonomi syari’ah baik di lingkungan PTAIN/S ataupun di perguruan tinggi umum. Demikian juga berbagai bentuk pelatihan, seminar, workshop dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya terkait ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini sangat marak dilakukan. Semuanya dalam rangka menjawab kebutuhan industri keuangan syari’ah tersebut. Jika dulunya perkembangan lebih terpusat pada perbankan, belakangan telah semakin meluas meliputi asuransi dan unit usaha lainnya. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tinggi Islam, baik itu PTAIN atau PTAIS sama-sama ditantang untuk mampu menyiapkan SDM syari’ah yang handal dan unggul.
IAIN-SU sejak tahun 1990-an sebenarnya sangat menyadari bahwa ekonomi syari’ah pada satu saat, tidak saja menjadi alternatif tetapi menjadi pilihan dunia dalam upaya menciptakan tatanan sosial ekonomi yang adil. Krisis ekonomi yang berlangsung di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang diramal banyak pakar, sesungguhnya menunjukkan momentum kebangkitan ekonomi Islam dan memudarnya pesona – untuk tidak mengatakan matinya – sistem ekonomi kapitalis.
Adalah Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics (1994) menyatakan ilmu ekonomi yang dibanggakan ternyata gagal meramalkan keadaan-keadaan terburuk yang akan dialami oleh manusia. Di Eropa Barat awal 1990 terdapat 20 juta penganggur dan ilmu ekonomi yang disebutnya ortodoks telah gagal meramalkannya. Demikian juga di Amerika yang dilanda defisit anggaran dan perdagangan, kemelut ekonomi dan resesi yang melanda Uni Soviet, Jepang dan Jerman merupakan bukti bahwa ilmu ekonomi lagi-lagi gagal meramalkannya.[2]
Demikian juga Khursid Ahmad dalam pengantarnya untuk buku Umer Chafra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, dengan cukup baik menjelaskan kegagalan ilmu ekonomi kapitalis. Dengan mengutip Thomas Friedman, Robert Heirbronner, Amitai Etzioni dan beberapa pakar lainnya menyimpulkan paradigma ekonomi, yang telah berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk berhasil memprediksi perilaku di masa yang akan datang, saat ini sedang ditantang. Paradigma yang harus dirubah itu adalah, utilitarian, rasionalistik, dan individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian tetapi juga semakin meningkat pada berbagai aturan relasi sosial lainnya.[3]
Kritik yang disampaikan pakar-pakar ekonomi dunia baik yang berlatar belakang konvensional ataupun Islam menunjukkan satu kesimpulan yang sama. Sistem ekonomi yang tidak dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan (etika dan moral) cepat atau lambat akan mengalami kehancurannya.
Namun harus disadari, kendatipun saat ini kita memasuki era ekonomi syari’ah, bukan berarti konstruk keilmuan ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam itu sudah selesai. Kita harus jujur, saat ini kita sedang berupaya untuk merumuskan keilmuan ilmu ekonomi syari’ah. Beberapa seminar yang berlangsung sepanjang tahun 2011-2012, khususnya yang menyangkut arsitektur ekonomi Islam, masih saja menunjukkan kegamangan kita dalam mengkaji ilmu ini. Dari sisi nomenklatur saja belum ada kesepakatan; hal ini tercermin dari dua kutub penamaan, kelompok yang pro dengan istilah ekonomi syari’ah dengan pihak yang cenderung memakai istilah ekonomi Islam. Implikasinya lebih jauh, prodi-prodi ekonomi Islam yang ada di berbagai PTAIN/S dari sisi penamaannya sangat beragam. Tentu tidaklah relevan untuk membandingkan ilmu ekonomi konvensional yang sudah berusia ratusan tahun dan karenanya telah mapan, dengan ilmu ekonomi Islam yang masih baru. Pakar-pakar dan ahli ekonomi Islam harus terus menerus menggali, mengkaji dan merumuskan bangunan ilmu ekonomi Islam yang tidak saja kokoh dari sudut epistemologinya namun juga responsif terhadap kebutuhan pasar.
Dalam konteks persoalan yang telah dikemukakan di atas, yaitu kesenjangan yang terjadi antara industri keuangan syari’ah yang terus berkembang dengan ketersediaan SDM syari’ah yang dirasa masih sangat kurang, maka pendidikan adalah cara yang paling masuk akal untuk mengatasinya. Namun menurut hemat saya, kesenjangan bukan hanya terjadi pada sisi ini. Persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk kita perhatikan adalah pada dimensi tenaga ahli atau pakar dalam bidang ekonomi Islam. Sejatinya, pendidikan tinggi ekonomi Islam tidak hanya menyiapkan tenaga-tenaga peraktis yang bisa bekerja di industri keuangan syari’ah tetapi juga harus menyiapkan ahli yang diharapkan dapat membangun dan mengembangkan sisi keilmuan ekonomi syari’ah. Dari tangan merekalah nantinya akan lahir praktisi-praktisi ekonomi syari’ah yang unggul.
Sampai di sini, keberadaan program studi strata 3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam menjadi satu keharusan. Seminar yang kita lakukan pada hari ini adalah langkah awal yang baik dalam rangka pembukaan program S3 ekonomi Islam PPS IAIN-SU. Mudah-mudahan pemikiran yang berkembang dalam forum ini dapat dijadikan masukan bagi pengelola program nantinya.
  1. B.                Ekonomi Islam di IAIN-SU: Perjalanan Panjang Menuju Keunggulan
Wacana ekonomi Islam yang berkembang di IAIN.SU sejak tahun 1990-an ditandai dengan lahirnya sebuah forum kajian yang disingkat dengan FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam). Lahirnya forum ini terkesan unik. Di dalam laporan Edisi Khusus Gatra tahun 2007 diceritakan bahwa pada penghujung 1980-an, isu penggunaan lemak babi dalam produk makanan tertentu yang diproduksi secara massal menginspirasi banyak sarjana ekonomi di Medan, seperti Prof. H.S Hadibroto dan Prof. Bahauddin Darus dari FE. USU serta mantan dirut PTPN, H.S. Pulungan untuk membuat semacam lembaga kajian ekonomi Islam. Pada awalnya, forum ini dimaksudkan hanya untuk tempat berdiskusi yang aman, murni relijius dan ilmiah hingga tidak dianggap makar. Sebagaimana dipahami, situasi politik pada saat itu sangat represif. Islamic phobia (ketakutan terhadap simbol-simbol Islam) masih sangat kuat dan begitu mengakar di pikiran tokoh-tokoh Orde Baru. Di samping itu, kehadiran ekonomi Islam dianggap sebagai protes terhadap ekonomi Pancasila yang sedang dikembangkan pemerintah orde baru. Pada awalnya USU diminta menjadi markas resmi pusat kajian itu. Namun Rektor USU kendatipun sangat respon terhadap lembaga kajian ekonomi Islam namun tidak bersedia jika USU dijadikan tempat berkumpul.  Permintaanpun diajukan ke UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) namun kondisinya juga sama. Bahkan MUI, kendati menyambut hangat kelahiran FKEBI, namun tetap saja tidak bersedia kantornya dijadikan sebagai markas. Satu-satunya harapan hanya IAIN-SU yang saat itu dipimpin oleh Drs. H. Nazri Adlani. Akhirnya Rektor IAIN-SU bersedia dengan syarat ketuanya harus dari IAIN. Akhirnya Prof. M. Yasir Nasution ditunjuk untuk menjadi ketua FKEBI yang pertama.[4]
Sejak saat itu, secara berkala, FKEBI melangsungkan berbagai macam kegiatan baik dalam bentuk pelatihan ataupun seminar-seminar. Kegiatan bersejarah pertama yang dilakukan FKEBI adalah Seminar dan Workshop Ekonomi Islam dengan tema “Ekonomi dalam Perspektif Islam,” bekerjasama dengan UIA Malaysia dan IKIM pada tanggal 25-28 Oktober 1993. Ketua Panitia Seminar tersebut dijabat oleh Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. Hadir sebagai nara sumber pada saat itu adalah, Zakaria Man (UIA), Syed Omar Bin Syed Agil, Aidit bin Haji Ghazali, Syed Abdul Hamid Al-Junaid, Syed Othman Alhabsi (IKIM), Dziyauddin bin Haji Ahmad (UIA). Sedangkan dari Indonesia sebagai nara sumber hadir pula, Muhammad Syafi’i Antonio. Seminar tersebut menghasilkan tiga rancangan konseptual. Pertama, Berkaitan dengan kurikulum dan pemasyarakatan ilmu ekonomi Islam dalam rangka pembukaan Fakultas Ekonomi Islam. Kedua, pendirian lembaga-lembaga keuangan. Ketiga, membangun kerjasama antar lembaga.[5]
Kegiatan penting lainnya adalah pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengelola BPRS (Bank Perkereditan Rakyat Syari’ah). Lulusan dari pelatihan inilah yang menjadi tenaga profesional di berbagai BPRS yang lahir di Sumut seperti BPRS Kafalatul Ummah (1994) Medan-Binjai, BPRS Amanah Bangsa (1994) di Siantar, BPRS Al-Washliyyah (1994) Medan, BPRS Gebu Prima (1996) dan BPRS Puduarta Insani (1996) Tembung Deli Serdang.[6] Jika hari ini IAIN-SU memiliki BPRS Puduarta Insani dan satu-satunya perguruan tinggi Islam yang memiliki Bank, itu adalah hasil kerja keras FKEBI dan pimpinan IAIN-SU kala itu.
Penting dicatat, seminar yang bersejarah tersebut diselenggarakan setelah MUI berhasil melahirkan bank Syari’ah pertama di Indonesia. Menurut Adiwarman Karim, upaya MUI untuk mendorong lahirnya Bank Syari’ah sudah berlangsung sejak tahun 1990. Bahkan pendirian Bank Syari’ah tersebut telah pula ditandatangani pada 1 November 1991, tetapi belum dapat beroperasi karena undang-undang perbankan belum memungkinkan. Ketika UU No 7 Tahun 1992 diterbitkan pada 1 April 1992, tepat satu bulan kemudia 1 Mei 1992, bank Syari’ah pertamapun beroperasi.[7]
Tidak berlebihan jika disebut FKEBI IAIN-SU saat itu tampil menjadi lokomotif kajian dan gerakan ekonomi Syari’ah. Dikatakan kajian karena FKEBI kerap melakukan berbagai macam seminar-seminar baik dalam skala nasional ataupun internasional. Pakar-pakar Ekonomi Islam Dunia banyak yang sudah hadir di Medan. Sebut saja misalnya Prof. Dr. M. A. Mannan[8], Prof. Dr. Masudul Alam Choudry[9], Umar Vadillo[10]. Selanjutnya dikatakan FKEBI sebagai gerakan karena memang FKEBI juga ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah propinsi Sumatera Utara untuk mengembangkan Ekonomi Syari’ah. Kegiatan yang monumental dalam konteks gerakan ini adalah Pencanangan Gerakan Ekonomi Syari’ah pada bulan Muharram yang langsung dimotori oleh Pemerintah Propinsi Sumut di bawah kendali T. Rizal Nurdin selaku gubernur. Kegiatan tersebut oleh K.H. Ma’ruf Amin dalam satu kesempatan disebut-sebut sebagai kegiatan pertama di Indonesia.
Selanjutnya, lahirnya Program Studi Diploma III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah (MPKS) pada tahun 1998 dapat dijadikan momentum sebagai dimulainya kajian ekonomi syari’ah secara akademis. Program DIII MPKS adalah lanjutan Program Diploma II Fak. Syari’ah IAIN-SU yang lahir dua tahun sebelumnya (1996). Peningkatan status program D II ke D III sebenarnya didasarkan pada pertimbangna pasar. Tampaknya, lulusan DIII lebih memiliki peluang yang lebih luas untuk memasuki pasaran kerja ketimbang lulusan D II. Saat ini jumlah mahasiswa Program DIII MPKS sejak tahun akademik 2007-2012 berjumlah 570 mahasiswa, sedangkan alumninya sampai tahun 2012 berjumlah 447 orang dan telah terserap di berbagai industri keuangan syari’ah dan bidang-bidang bisnis lainnya.
Satu hal yang menarik untuk kasus pendidikan tinggi ekonomi Islam di IAIN.SU adalah, program pasca sarjana (PPS) strata 2 prodi Ekonomi Islam lebih dahulu lahir ketimbang program S1 nya. Program S2 IAIN-SU lahir pada tahun 2000 dengan jumlah mahasiswa angkatan pertama sebanyak 20 orang.[11]  Program S1 Ekonomi Islam lahir dua tahun setelah lahirnya S2, tepatnya tahun 2002 dengan jumlah mahasiswa pertama sebanyak 39 orang. Sampai saat ini jumlah mahasiswa S2 sampai tahun 2012 sebanyak 300 orang dengan jumlah mahasiswa aktif sebanyak 75 orang dan yang non aktif (dalam tahap penyelesaian tesis) sebanyak 98 orang. Sedangkan alumninya sebanyak  105 alumni. Adapun alumni S2 EKI saat ini banyak yang bertugas sebagai pengajar atau dosen di berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara. Sedangkan yang lain memilih untuk memasuki dunia kerja, walaupun dalam arti yang sederhana.
Sebagaimana yang telah disebut di muka, S1 Ekonomi Islam IAIN-SU dibuka pada tahun 2002[12]. Program Studi Ekonomi Islam ini ternyata mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat Sumatera Utara dan sekitarnya. Data statisitik menunjukkan adanya trend peningkatan minat mahasiswa baru untuk memilih program ini. Rata-rata setiap tahun ajaran, jumlah pelamar untuk S1 program studi Ekonomi Islam mencapai angka 700-800 pelamar. Adapun daya tampung Program ini lebih kurang 5 lokal atau 200 mahasiswa setiap tahunnya. Sebelumnya, kita hanya bisa menampung 120 orang mahasiswa atau 3 lokal setiap tahun akademik baru.
Untuk menjaga kualitas program, Program Studi Ekonomi Islam sejak awal pendiriannya menggunakan jasa konsultan yang ahli dalam bidang ekonomi Islam yaitu Ir. Adiwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP dari Karim Business Consulting Jakarta, Prof. Dr. Mohd. Azmi Omar dari Islamic International University Malaysia (IIUM) di Malaysia dan Prof. Sofyan Syafri Harahap, SE.Ak, MASc, Phd (alm), Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Direktur Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta. Saya perlu memberi catatan di sini, peran Ir. Adiwarman A Karim cukup signifikan dalam membantu terselenggaranya program S1 Ekonomi Islam. Beliau tidak saja menyusun kurikulum beserta topik intinya tetapi juga ikut menyiapkan buku-buku yang digunakan dalam prodi EKI. Hal ini penting saya sampaikan, karena pada saat itu kita tidak memiliki contoh atau model S1 Ekonomi Islam, karena program studi ini belum ada di Indonesia. Keberanian Prof. Dr. Amiur Nuruddin, MA mengambil langkah-langkah strategis, yang dalam hal-hal tertentu tanpa payung hukum, membuat program tersebut menjadi mungkin berjalan dan dapat eksis sampai hari ini.
Sejak awal berdirinya, kita telah menggariskan bahwa Visi Program Studi Ekonomi Islam adalah, “Unggul dan terkemuka dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu ekonomi Islam bagi kesejahteraan umat manusia (human falah). Sedangkan misinya adalah (1) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan dan pengajaran ilmu ekonomi Islam dan perbankan syari’ah dalam berbagai aspek dengan menggunakan standar metodologi keilmuan modern secara profesional. (2) Melaksanakan pembinaan sumber daya manusia memasuki dunia kerja dengan mengacu pada sistim pendidikan terpadu yang berbasis kompetensi dengan tujuan mendukung aplikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan pada umumnya. (3) Menanamkan kesadaran profesional akan pendekatan-pendekatan baru dalam membangun ilmu pengetahuan ekonomi, perbankan syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah non bank. (4) Meningkatkan dan mengembangkan penelitian dan pengkajian di bidang ekonomi Islam, khususnya perbankan syari’ah dalam rangka memperkokoh Program Studi ekonomi Islam. (5) Menjalin kerjasama secara produktif dengan berbagai lembaga perbankan dan lembaga lainnya.
Demikianlah, atas kerja keras Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Program studi Ekonomi Islam-D3 MPKS, untuk yang pertama kalinya kedua prodi tersebut telah terakreditasi di BAN PT dengan nilai B[13]. Demikian juga untuk S2 juga telah terakreditasi di Ban PT dengan nilai B. Pada masa-masa yang akan datang, diharapkan Program Studi ekonomi Islam yang telah ditetapkan sebagai program unggulan IAIN-SU baik untuk tingkat D3, S1 dan S2 dapat mencapai nilai A. Sampai di sini, peningkatan kualitas lulusan, tenaga pengajar, kurikulum yang unggul dan responsive terhadap perkembangan zaman serta kelengkapan sarana dan prasarana menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah tiga program Studi Ekonomi Islam yang kita miliki, mulai dari Diploma Tiga, Starat 1 dan 2, kini program studi ekonomi Islam kita menjadi sangat lengkap dengan keluarnya izin penyelenggaraan S3 Ekonomi Syari’ah melalui SK Dirjen Pendis nomor 890 tahun 2012 yang ditandatangai tanggal 23 Juli 2012. Izin prodi S3 ini sesungguhnya menunjukkan betapa pemerintah dalam hal ini kementerian Agama sangat mempercayai bahwa IAIN-SU pantas dan layak untuk mengelola program studi Ekonomi Islam di semua level tingkatan. Lebih dari itu, hal ini juga menunjukkan bahwa IAIN-SU sangat tepat menjadikan Ekonomi Islam sebagai program studi unggulannya. Tinggal lagi sekarang, apakah kita mampu membuktikan kepercayaan yang telah diberikan ini dan benar-benar menjadikan IAIN-SU menjadi kiblat kajian dan pengembangan ilmu ekonomi Islam.
  1. C.                Arah Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam IAIN-SU
Sebagaimana telah disebut di awal makalah ini, salah satu kendala yang menyebabkan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia terkesan lambat, kendati trendnya terus meningkat adalah persoalan Sumber daya manusianya. Tidak dapat dipungkiri, human intellectual capital memainkan peran penting dalam mendorong kinerja dan daya saing. Inovasi di industri keuangan secara umum dan keuangan syari’ah khususnya membutuhkan tersedianya kepakaran (expertise) dan keahlian (skill). Bukan hanya aspek operesional, tenaga professional juga diperlukan untuk mendukung penelitian dan pengembangan guna memperkuat kapasitas dalam berinovasi.[14]
Menurut Syafi’i Antonio, professional yang dibutuhkan dalam industri keuangan syari’ah agak unik dibandingkan dengan industri konvensional. Para professional di industri keuangan syari’ah dituntut memiliki kompetensi keilmuan dan skill yang “men-senyawa-kan” ilmu syari’ah dan keuangan. Prinsif syari’ah harus “larut” dalam aspek opresional LKS, termasuk dalam mendesain produk-produk perbankan dan struktur keuangan syari’ah, akad keuangan dan pelaksanaannya, manajemen likuiditas dan neraca, dan manajemen resiko.[15]
Idealnya, program studi ekonomi Islam di IAIN-SU khususnya pada strata 1 dan strata 2 harus menguasai; Pertama, menguasai aspek teknis profesi. Sebut saja misalnya, di bidang akuntansi perbankan, alumni ekonomi Islam IAIN-SU khususnya prodi atau konsentrasi akuntansi syari’ah harus menguasi aspek teknis bidang ini secara utuh dan teruji. Kedua, Menguasi aspek filosofis ekonomi Islam. lulusan ekonomi Islam sejatinya tidak hanya menguasi “kulit luar” ekonomi Islam, tetapi juga nilai-nilai filosofi yang mendasari setiap ajaran juga harus dipahami dengan baik. Dengan cara ini sebutan bankir syari’ah “muallaf” tidak lagi terdengar. Ketiga, menguasi aspek fikih ekonomi Islam. dengan kata lain inilah yang disebut aspek normative ekonomi Islam. indikasinya, alumni Ekonomi Islam menguasai dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an ataupun Al-Hadis dan dapat menjelaskannya dengan baik. Keempat, menguasai ilmu ekonomi konvensional setidaknya yang bersifat umum dan menjadi bidang keahliannya. Setidaknya aspek mikro dan makro ekonomi konvensional harus dipahami dengan baik. Kelima, alumni ekonomi Islam yang dihasilkan IAIN.SU juga harus memiliki integritas yang tinggi serta moral yang teruji.
Dari paparan di atas, tergambar dengan jelas, tuntutan keahlian dan keilmuan terhadap lulusan penddikan tinggi ekonomi Islam lebih berat dibanding dengan lulusan ekonomi konvensional. Hal inilah yang menyebabkan beban SKS baik dari sisi kuantitas juga bobot mata kuliah terasa lebih besar.
Dengan jumlah dosen tetap ekonomi Islam di IAIN-SU yang hari ini jumlahnya lebih kurang 27 orang, dengan klasifikasi satu guru besar ekonomi Islam 3 Doktor dan 4 calon Doktor (tahap penulisan disertasi), 22 magister dari berbagai disiplin ilmu ekonomi dan bisnis, terasa masih sangat kurang. Untuk itulah, peningkatan kualitas dosen baik lewat peningkatan strata pendidikan, S2 dan lebih-lebih S3 menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Salah satu yang mendasari urgensi di bukanya program Studi S3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam ini adalah dalam rangka peningkatan kualitas dosen ekonomi Islam baik di PTAI atau di perguruan tinggi umum yang memiliki prodi atau peminatan ekonomi Islam. Jika merujuk kepada data alumni S2 IAIN-SU -belum termasuk alumni S2 IAIN/UIN dan FE umum lainnya- dengan jumlah alumni 105 orang menunjukkan besarnya potensi program ini untuk berkembang. Apabila 50 % saja alumni S2 EKI melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3, berarti kita akan memiliki 50 orang doktor Ekonomi Islam dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan. Pada gilirannya, kualitas pendidikan tinggi ekonomi Islam kita akan semakin kuat dan implikasinya lebih jauh adalah akselerasi pengembangan ekonomi Islam umumnya dan industri keuangan syari’ah pada khususnya dapat dipacu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita membuat Program Studi Doktor (S3) ekonomi Islam ini benar-benar unggul. Jika pada tingkat S1 dan S2 kita melahirkan tenaga-tenaga professional (mujahid al-iqtishad), maka pada S3 kita sesungguhnya akan melahirkan pemikir dan filosof ekonomi Islam atau kita sebut dengan mujtahid fi al-iqtishad. Oleh sebab itu penguasaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Syari’ah menjadi niscaya.
Harus disadari, perkembangan ekonomi syari’ah yang demikian pesat, pada satu sisi harus disyukuri. Namun pada sisi lain, kita juga harus waspada jangan sampai ekonomi syari’ah mengalami penyempitan makna. Saya ingin mengutip orasinya Prof. Sri-Edi Swasono dalam Workshop Nasional Arsitektur Ekonomi Islam di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan,
“Namun compatibility Ekonomi Syari’ah terhadap ekonomi Pancasila akan makin surut apabila (sedang popular saat ini) Ekonomi Syari’ah direduksi dan lebih terpusatkan hanya pada upaya membangun bank-bank syari’ah, seterusnya riba hanya ditinjau dari segi bunga perbankan saja. Riba justru hidup subur di dalam system ekonomi yang eksploitatori secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade-off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah, yang tersubordinasi dan terdiskriminasi, yang membiarkan brutalitas laissez-faire dalam arti luas, yang justru diabaikan oleh mereka yang lengah oleh eforia dalam mengembangkan bank-bank syari’ah tanpa memperhatikan perlunya dekonstruksi dan restrukturisasi system ekonomi yang usurious.[16]
Kritik Sri Edi Swasono sebagai ahli ekonomi Pancasila, Penasehat Menteri PPN/Bappenas dan Guru Besar UI, menarik untuk diperhatikan. Jika kita analisis, perkembangan bisnis syari’ah belakangan ini yang demikian massif, patut membuat kita bergembira. Saya mencatat, laporan Majalah Gatra edisi khusus lebaran 2006 dengan tema, “Spirit Ekonomi Santri,” Edisi Khusus Lebaran 2007 dengan tema, “Booming Bisnis Syari’ah” dan  Edisi Khusus Lebaran 2011, dengan tema “Napas Islam Industri Kreatif” menunjukkan perkembangan bisnis Syari’ah yang sangat spektakuler. Bisnis Islam tidak saja terpaku pada persoalan Bank-bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Sekuritas, Pasar Modal, MLM Syari’ah, Pegadaian, Koperasi, Dinar Dirham, Wakaf, dan Zakat. Tetapi sudah memasuki wilayah fashion syari’ah, salon muslimah, kosmetik syari’ah, software Islami, Situs-situs Islami, sastra religious seperti terlihat pada penerbitan novel-novel Islami, biro perjalanan wisata spiritual, film-film religi, Animasi syari’ah, seni rupa Islami dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan industri kreatif Islami. Tanpa mengabaikan pencapaian-pencapaian tersebut, sesungguhnya kita layak bertanya. Apakah ekonomi Islam berhenti pada tataran berkembangnya bisnis-bisnis syari’ah yang mengedepankan simbol-simbol Islam?.
Hemat saya, semestinyalah kita mengembalikan ruh ekonomi Islam itu dalam upaya penciptaan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kerja besar ekonomi Islam adalah bagaimana menghilangkan ketimpangan dan kesenjangan sosial yang begitu kuat di tengah-tengah masyarakat kita. Bukankah kehadiran Al-Qur’an khususnya ayat-ayat pada priode Makkah adalah dalam rangka menggugat struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyyah yang timpang dan sekaligus memberikan jalan keluar dari problema sosial itu. Kita harus dapat membuktikan bahwa aplikasi ekonomi Syari’ah pada gilirannya akan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera (human falah dan masyarakat falah) sebagai masyarakat ideal yang didambakan Al-Qur’an.
Sekali lagi, sampai di sini, kita memang memerlukan filosof-filosof ekonomi Islam atau mujtahid-mujahid ekonomi Islam yang diharapkan dapat menguatkan dan mengawal perkembangan ekonomi Syari’ah sesuai dengan khittahnya. Saya setuju dengan kesimpulan Sri Edi Swasono bahwa kita memerlukan paradigma baru dalam ilmu ekonomi. Jika diperhatikan, tawaran yang diberikannya sesungguhnya sangat kompatibel dengan ekonomi Syari’ah. Pemikirannya tentang perlunya meninggalkan titik-tolak manusia sebagai homo-economicus, menuju homo ethicus, homo-socious, homo-religious, dan homo humanus, menjadikan manusia (ummat) yang harus diperankan dalam posisi “sentral-substansial” tidak boleh direduksi oleh modal menjadi sekedar “marginal residual” –untuk menyebut beberapa diantaranya- adalah nama lain dari ekonomi Syari’ah, walaupun ia tidak menyebut istilah ekonomi syari’ah.[17]
  1. D.               Intelektual Baru: Integrasi, Hibrida dan Kosmopolitanisme
Berbagai gebrakan keilmuan yang berpusat pada PTAIN telah menjadi perhatian banyak pakar dan lembaga dalam dan luar negeri. Fenomena ini telah dikemukakan oleh hasil penelitian terhadap dampak tamatan luar, terutama dari Kanada, terhadap arah kemajuan keilmuan di perguruan tinggi Islam negeri di berbagai daerah, yang pada gilirannya juga berdampak pada wacana keilmuan di negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini. Hasil penelitian kerjasama CIDA Kanada dan PPIM UIN Jakarta pada awal 2000an telah mengemukakan hal ini.[18]
Hal ini diperkuat kembali oleh penelitian Carool Kersten dari School of Oriental and African Studies (SOAS), London.[19] Kersten menyimpulkan bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia, terutama dimotori oleh IAIN, telah menghasilkan cendekiawan baru yang ‘unik’, hasil dari suatu ‘cultural hybridity’ antara keunggulan tradisi keilmuan Muslim dan kecanggihan kemajuan kepakaran Barat.
Hibriditas ini berhasil tumbuh berkembang cukup baik karena PTAIN relatif mampu menciptakan suasana akademis yang mendukung, interaksi yang sinergis antara berbagai unsur yang bertemu, serta kondisi yang non-sektarian, bahkan kosmpolitan dan integratif. Kosmopolitan, menurut Kersten, ditandai antara lain bukan saja dengan terlampauinya peninggalan cara pandang orientalisme dan/juga oksidentalisme, tetapi juga sikap terbuka terhadap capaian pihak lain. Integrasi bukan saja karena terjadi sinergi antara warisan keilmuan klasik umat Islam (turath) dengan temuan baru kesarjanaan kontemporer, tetapi juga pengayaan pendekatan yang mengarah pada berkembangnya ‘transdisciplinarity’ yang menjanjikan.[20]
Trend lain yang menarik adalah bergesernya fokus perhatian berbagai pengkajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam negeri ini tidak hanya tertumpu pada nostalgia terhadap kejayaan masa lalu, tetapi upaya gigih untuk merebut kesempatan masa kini dan menjawab tantangan masa depan. Perhatian PTAIN tidak hanya berkutat pada permasalahan teoritis, tetapi telah meluas pada upaya terapan praktis dalam menjawab kebutuhan lokal dan regional masa kini dan menjawab tantangan masa depan.[21] Hal ini paling menonjol terlihat terutama pada aspek perekonomian dan kesejahteraan umat Islam.
Apa yang ditemukan oleh peneliti inilah tampaknya yang berkembang di IAIN-SU. Perkembangan akhir terkait hal ini adalah telah ditandatanganinya kesepakatan (MOU) empat IAIN, yang lazim disebut ‘4-in-1’, yakni Semarang, Palembang, Mataram dan Medan yang antara lain menyepakati bahwa program studi unggulan IAIN-SU adalah ekonomi dan bisnis Islam. Tindak lanjut kongkritnya adalah sudah diajukannya proposal penyapihan semua bidang kajian ekonomi dan bisnis menjadi fakultas yang berdiri sendiri (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam).[22] Ini merupakan konsekuensi logis dari telah berkiprahnya dengan baik program pendidikan diploma, S1, S2 dan S3 ekonomi dan bisnis syari’ah serta berbagai lembaga dan kegiatan terkait lainnya.
  1. E.                Catatan Penutup
Program Doktor Ekonomi Islam nantinya diharapkan dapat melahirkan doktor-doktor yang menguasi dengan sangat baik ilmu ekonomi Syari’ah. Penguasaannya itu sama pula baiknya dengan pemahamannya terhadap ilmu ekonomi konvensional dan juga yang kontemporer. Hemat saya, kerangka berpikir Umer Chafra layak untuk kita pertimbangkan. Izinkan saya mengutip apa yang disampaikan Chafra sebagai berikut:
To say that the effort to creat Islamic Economics lead to isolationism is true only if arrogance and bigotry prevail in either one of the two disciplines and prevent mutual interaction. A rational and amicable discussion of different worldviews and disciplines may, in fact, promote greater depth and breadth in the analysis of both disciplines through cross pollination, and thus make the world richer and better off. Feyerabend is, hence, right in asserting that the conformity impairs its critical power. Uniformity also impairs the free development of the individual.[23]
Hemat saya tidak pada tempatnya kita menjadikan ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Lebih-lebih saling menafikan dan menunjukkan keunggulannya masing-masing dalam posisi zero-sum game dan quid pro quo. Gagasan IAIN-SU untuk melakukan integrasi keilmuan dan lebih pada aspek axiologis, dalam artian upaya mewujudkan intelektual ulu al-albab[24] adalah pilihan yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman dan dengan peluang yang terbuka dan tantangan yang berkembang. Ini lebih utama dan menonjol di dalam bidang ekonomi. Semoga Program Doktor yang lahir di IAIN-SU ini mampu untuk memberikan kontribusi positifnya dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar