Minggu, 31 Maret 2013

prospek E-commerce di indonesia dan dunia


IT dan Bisnis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, IT akan membawa dampak pengaruh yang baik dan bermanfaat bagi bisnis jika dapat dimanfaatkan dengan baik,saat ini saja Tampaknya e-commerce mempunyai masa depan yang cerah. Jika berbagai detail dari perdagangan online ini dapat di selesaikan maka bukan mustahil e-commerce dan Internet akan mengubah struktur dunia usaha secara global. Prospek E-commerce di Indonesia bahkan didunia sangatlah menunjukkan kemajuan yang sangat baik dan pesat. Industri e-Commerce punya potensi besar, di Indonesia saja Seiring pertumbuhan akses internet, transaksi jual beli online yang diperkirakan bisa mencapai Rp 330 triliun tahun ini masih bisa terus meningkat di tahun mendatang. E-commerce sendiri memiliki prospek yang sangat baik karena memiliki banyak sekali manfaat :
Bagi masyarakat secara umum;
  1. Electronic commerce memungkinkan orang untuk bekerja di dalam rumah dan tidak banyak keluar untuk berbelanja, akibatnya ini akan menurunkan arus kepadatan lalu lintas di jalan serta mengurangi polusi udara.
  2. Elctronic commerce memungkinkan sejumlah barang dagangan dijual dengan harga lebih rendah, sehingga orang yang kurang mampu bisa membeli lebih banyak dan meningkatkan taraf hidup mereka
  3. Electronic commerce memungkinkan orang di negara-negara Dunia ketiga dan wilayah pedesan untuk menikmati aneka produk dan jasa yang akan susah mereka dapatkan tanpa EC. Ini juga termasuk peluang untuk belajar berprofesi serta mendapatkan gelar akademik
  4. Electronic commerce memfasilitasi layanan publik, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan pemerataan layanan sosial yang dilaksanakan pemerintah dengan biaya yang lebih rendah, dan / atau dengan kualitas yang lebih baik. Layanan perawatan kesehatan, misalnya, bisa menajangkau pasien di daerah pedesaan.
Bagi dunia bisnis;
  1. Electronic commerce memungkinkan pelanggan untuk berbelanja atau melakukan transaksi lain selama 24 jam sehari sepanjang tahun dari hampir setiap lokasi
  2. Electronic commerce meemberikan lebih banyak pilihan kepada pelanggan; mereka bisa memilih berbagai produk dari banyak vendor
  3. Electronic commerce menyediakan produk-produk dan jasa yang tidak mahal kepada pelanggan dengan cara mengunjungi banyak tempat dan melakukan perbandingan secara cepat
  4. Dalam beberapa kasus, khususnya pada produk-produk yang digitized, EC menjadikan pengiriman menjadi sangat cepat
  5. Pelanggan bisa menerima informasi relevan secara detail dalam hitungan detik, bukan lagi hari atau minggi
  6. Electronic commerce memungkinkan partisipasi dalam pelelangan maya (virtual auction)
  7. Electronic commerce memberi tempat bagi para pelanggan untuk berinteraksi dengan pelanggan lain di electronic community dan bertukar pikiran serta berbagai pengalaman
  8. Electronic commerce memudahkan persaingan, yang pada akhirnya akan menghasilkan diskon secara substansial
Bagi para konsumen;
  1. Perusahaan-perusahaan dapat menjangkau pelanggan diseluruh dunia. Oleh karena itu dengan memperluas bisnis mereka, sama saja dengan meningkatkan keuntungan.
  2. e-commerce menawarkan pengurangan sejumlah biaya tambahan. Sebuah perusahaan yang melakukan bisnis diinternet akan mengurangi biaya tambahan karena biaya tersebut tidak digunakan untuk gedung dan pelayanan pelanggan (customer service), jika dibandingkan dengan jenis bisnis tradisional.


Lingkungan atau pemasaran international dapat dijangkau dengan mudah melalui E-commerce, seiring perkembangan teknologi khususnya penggunaan internet yang terus bertambah diseluruh dunia menjadi faktor utama penjamin kemajuan E-commerce, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet di Indonesia hingga Juni 2012 kemarin baru mencapai 62,9 juta. Menurut Ketua Umum APJII Sammy Pangerapan, jumlahnya baru 25% dari total populasi penduduk.
Dalam tiga tahun ke depan, APJII yang berinisiatif mendeklarasikan Indonesia Internet Governance (ID-IGF) bersama komunitas teknologi informasi komunikasi, berupaya untuk menjalankan tata kelola internet agar bisa memenuhi target 50% yang dicanangkan World Summit of Information Society (WSIS) untuk seluruh negara dunia. Jika pengguna internet tumbuh pesat di atas angka 100 juta, apalagi jika Indonesia bisa memenuhi target WSIS untuk Millenium Development Goals 2015 dengan jumlah penetrasi 125 juta, pasar bisnis e-commerce diyakini bisa tumbuh sedikitnya dua kali lipat. (http://inet.detik.com)
Peluang untuk bertransaksi elektronik melalui e-commerce sangat terbuka lebar. Pemerintah RI pun telah mengeluarkan regulasi yang akan menjadi payung hukumnya.  UU no 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 9, pasal 10 (1), pasal 15, pasal 17 (1,2) secara jelas mengatur pelaku usaha yang agar menyelenggarakan transaksi elektronik secara andal, aman dan bertanggungjawab. Pemerintah juga sedang menggodok RPP (rancangan peraturan pemerintah) mengenai mekanisme e-commerce ini agar terselenggara dalam praktek bisnis yang adil. Rencananya peraturan akan selesai pada 2013 mendatang. Sementara sebelum peraturan ini keluar, pemerintah memberlakukanUndang-Undang Perlindungan Konsumen dan KUHP tentang Penipuan jika terjadi tindak kriminal dalam e-commerce.
Begitupun organisasi dan forum internasional (diantaranya : World Trade Organization, United Nation Commision on International Trade LawThe European Union) telah mengagendakan dan menyusun berbagai konsep yang berkaitan dengan penerapan e-commerce di dunia perdagangan internasional.( http://ekonomi.kompasiana.com )

Selasa, 29 Januari 2013

Pengembangan Studi Ekonomi Islam di PTAIN: Studi Kasus di IAIN-SU Medan

Leave a comment

Oleh: Nur A. Fadhil Lubis (Rektor IAIN SU Medan) 

A.   Pendahuluan
Sejarah menunjukkan, industri keuangan syari’ah dalam hal ini perbankan, ternyata lebih dulu hadir di Indonesia ketimbang lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam itu sendiri. Jika Bank Mu’amalat adalah bank syari’ah pertama di Indonesia itu didirikan pada 1992, maka pendidikan tinggi ekonomi Islam baru muncul pada 1997. Hal ini sesungguhnya menunjukkan kesenjangan antara kebutuhan industri keuangan syari’ah dengan ketersediaan SDM sudah lama berlangsung. Bahkan sampai hari ini, kesenjangan tersebut masih saja terjadi.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia 2003 diungkapkan bahwa lebih dari 90 % SDM bank syari’ah saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi syari’ah. Di samping itu, berdasarkan penyampaian outlook perbankan syari’ah 2007 diketahui bahwa di antara kendala percepatan market share perbankan syari’ah ialah faktor SDM perbankan syari’ah yang secara kuantitaif masih kurang, lebih-lebih dari segi kualitasnya yang juga masih rendah.  Menurut Wahyu Dwi Agung (mantan ketua ASBISINDO) dan Syakir Sula, saat ini baru 10 % saja SDM yang memiliki latar belakang syari’ah yang bekerja di industri keuangan syari’ah dan yang 90% adalah berlatar belakang dari industri keuangan konvensional yang “dikarbit” melalui pelatihan singkat perbankan syari’ah.
Menurut Harisman (Direktur Direktorat Perbankan Syari’ah BI) dalam 4-5 tahun ke depan dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM untuk mengisi perkembangan industri keuangan syari’ah di Indonesia. Data BI menyebutkan lebih tinggi lagi, yakni sekitar 14 ribu. Realita ini menunjukkan dua hal; satu sisi peluang bagi lulusan pendidikan tinggi ekonomi Islam sangat besar untuk memasuki dunia kerja. Namun pada sisi lain hal tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh institusi pendidikan tinggi Islam.[1]
Jelas bahwa perkembangan industri keuangan syari’ah yang demikian pesat, baik dalam bentuk lembaga bank ataupun non bank ternyata tidak diikuti oleh ketersedian SDM yang handal. Realitas inilah yang menyebabkan lahirnya lembaga pendidikan tinggi ekonomi syari’ah, prodi-prodi ekonomi syari’ah baik di lingkungan PTAIN/S ataupun di perguruan tinggi umum. Demikian juga berbagai bentuk pelatihan, seminar, workshop dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya terkait ekonomi syari’ah yang akhir-akhir ini sangat marak dilakukan. Semuanya dalam rangka menjawab kebutuhan industri keuangan syari’ah tersebut. Jika dulunya perkembangan lebih terpusat pada perbankan, belakangan telah semakin meluas meliputi asuransi dan unit usaha lainnya. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tinggi Islam, baik itu PTAIN atau PTAIS sama-sama ditantang untuk mampu menyiapkan SDM syari’ah yang handal dan unggul.
IAIN-SU sejak tahun 1990-an sebenarnya sangat menyadari bahwa ekonomi syari’ah pada satu saat, tidak saja menjadi alternatif tetapi menjadi pilihan dunia dalam upaya menciptakan tatanan sosial ekonomi yang adil. Krisis ekonomi yang berlangsung di berbagai belahan dunia, sebagaimana yang diramal banyak pakar, sesungguhnya menunjukkan momentum kebangkitan ekonomi Islam dan memudarnya pesona – untuk tidak mengatakan matinya – sistem ekonomi kapitalis.
Adalah Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics (1994) menyatakan ilmu ekonomi yang dibanggakan ternyata gagal meramalkan keadaan-keadaan terburuk yang akan dialami oleh manusia. Di Eropa Barat awal 1990 terdapat 20 juta penganggur dan ilmu ekonomi yang disebutnya ortodoks telah gagal meramalkannya. Demikian juga di Amerika yang dilanda defisit anggaran dan perdagangan, kemelut ekonomi dan resesi yang melanda Uni Soviet, Jepang dan Jerman merupakan bukti bahwa ilmu ekonomi lagi-lagi gagal meramalkannya.[2]
Demikian juga Khursid Ahmad dalam pengantarnya untuk buku Umer Chafra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, dengan cukup baik menjelaskan kegagalan ilmu ekonomi kapitalis. Dengan mengutip Thomas Friedman, Robert Heirbronner, Amitai Etzioni dan beberapa pakar lainnya menyimpulkan paradigma ekonomi, yang telah berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk berhasil memprediksi perilaku di masa yang akan datang, saat ini sedang ditantang. Paradigma yang harus dirubah itu adalah, utilitarian, rasionalistik, dan individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian tetapi juga semakin meningkat pada berbagai aturan relasi sosial lainnya.[3]
Kritik yang disampaikan pakar-pakar ekonomi dunia baik yang berlatar belakang konvensional ataupun Islam menunjukkan satu kesimpulan yang sama. Sistem ekonomi yang tidak dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan (etika dan moral) cepat atau lambat akan mengalami kehancurannya.
Namun harus disadari, kendatipun saat ini kita memasuki era ekonomi syari’ah, bukan berarti konstruk keilmuan ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam itu sudah selesai. Kita harus jujur, saat ini kita sedang berupaya untuk merumuskan keilmuan ilmu ekonomi syari’ah. Beberapa seminar yang berlangsung sepanjang tahun 2011-2012, khususnya yang menyangkut arsitektur ekonomi Islam, masih saja menunjukkan kegamangan kita dalam mengkaji ilmu ini. Dari sisi nomenklatur saja belum ada kesepakatan; hal ini tercermin dari dua kutub penamaan, kelompok yang pro dengan istilah ekonomi syari’ah dengan pihak yang cenderung memakai istilah ekonomi Islam. Implikasinya lebih jauh, prodi-prodi ekonomi Islam yang ada di berbagai PTAIN/S dari sisi penamaannya sangat beragam. Tentu tidaklah relevan untuk membandingkan ilmu ekonomi konvensional yang sudah berusia ratusan tahun dan karenanya telah mapan, dengan ilmu ekonomi Islam yang masih baru. Pakar-pakar dan ahli ekonomi Islam harus terus menerus menggali, mengkaji dan merumuskan bangunan ilmu ekonomi Islam yang tidak saja kokoh dari sudut epistemologinya namun juga responsif terhadap kebutuhan pasar.
Dalam konteks persoalan yang telah dikemukakan di atas, yaitu kesenjangan yang terjadi antara industri keuangan syari’ah yang terus berkembang dengan ketersediaan SDM syari’ah yang dirasa masih sangat kurang, maka pendidikan adalah cara yang paling masuk akal untuk mengatasinya. Namun menurut hemat saya, kesenjangan bukan hanya terjadi pada sisi ini. Persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk kita perhatikan adalah pada dimensi tenaga ahli atau pakar dalam bidang ekonomi Islam. Sejatinya, pendidikan tinggi ekonomi Islam tidak hanya menyiapkan tenaga-tenaga peraktis yang bisa bekerja di industri keuangan syari’ah tetapi juga harus menyiapkan ahli yang diharapkan dapat membangun dan mengembangkan sisi keilmuan ekonomi syari’ah. Dari tangan merekalah nantinya akan lahir praktisi-praktisi ekonomi syari’ah yang unggul.
Sampai di sini, keberadaan program studi strata 3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam menjadi satu keharusan. Seminar yang kita lakukan pada hari ini adalah langkah awal yang baik dalam rangka pembukaan program S3 ekonomi Islam PPS IAIN-SU. Mudah-mudahan pemikiran yang berkembang dalam forum ini dapat dijadikan masukan bagi pengelola program nantinya.
  1. B.                Ekonomi Islam di IAIN-SU: Perjalanan Panjang Menuju Keunggulan
Wacana ekonomi Islam yang berkembang di IAIN.SU sejak tahun 1990-an ditandai dengan lahirnya sebuah forum kajian yang disingkat dengan FKEBI (Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam). Lahirnya forum ini terkesan unik. Di dalam laporan Edisi Khusus Gatra tahun 2007 diceritakan bahwa pada penghujung 1980-an, isu penggunaan lemak babi dalam produk makanan tertentu yang diproduksi secara massal menginspirasi banyak sarjana ekonomi di Medan, seperti Prof. H.S Hadibroto dan Prof. Bahauddin Darus dari FE. USU serta mantan dirut PTPN, H.S. Pulungan untuk membuat semacam lembaga kajian ekonomi Islam. Pada awalnya, forum ini dimaksudkan hanya untuk tempat berdiskusi yang aman, murni relijius dan ilmiah hingga tidak dianggap makar. Sebagaimana dipahami, situasi politik pada saat itu sangat represif. Islamic phobia (ketakutan terhadap simbol-simbol Islam) masih sangat kuat dan begitu mengakar di pikiran tokoh-tokoh Orde Baru. Di samping itu, kehadiran ekonomi Islam dianggap sebagai protes terhadap ekonomi Pancasila yang sedang dikembangkan pemerintah orde baru. Pada awalnya USU diminta menjadi markas resmi pusat kajian itu. Namun Rektor USU kendatipun sangat respon terhadap lembaga kajian ekonomi Islam namun tidak bersedia jika USU dijadikan tempat berkumpul.  Permintaanpun diajukan ke UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) namun kondisinya juga sama. Bahkan MUI, kendati menyambut hangat kelahiran FKEBI, namun tetap saja tidak bersedia kantornya dijadikan sebagai markas. Satu-satunya harapan hanya IAIN-SU yang saat itu dipimpin oleh Drs. H. Nazri Adlani. Akhirnya Rektor IAIN-SU bersedia dengan syarat ketuanya harus dari IAIN. Akhirnya Prof. M. Yasir Nasution ditunjuk untuk menjadi ketua FKEBI yang pertama.[4]
Sejak saat itu, secara berkala, FKEBI melangsungkan berbagai macam kegiatan baik dalam bentuk pelatihan ataupun seminar-seminar. Kegiatan bersejarah pertama yang dilakukan FKEBI adalah Seminar dan Workshop Ekonomi Islam dengan tema “Ekonomi dalam Perspektif Islam,” bekerjasama dengan UIA Malaysia dan IKIM pada tanggal 25-28 Oktober 1993. Ketua Panitia Seminar tersebut dijabat oleh Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. Hadir sebagai nara sumber pada saat itu adalah, Zakaria Man (UIA), Syed Omar Bin Syed Agil, Aidit bin Haji Ghazali, Syed Abdul Hamid Al-Junaid, Syed Othman Alhabsi (IKIM), Dziyauddin bin Haji Ahmad (UIA). Sedangkan dari Indonesia sebagai nara sumber hadir pula, Muhammad Syafi’i Antonio. Seminar tersebut menghasilkan tiga rancangan konseptual. Pertama, Berkaitan dengan kurikulum dan pemasyarakatan ilmu ekonomi Islam dalam rangka pembukaan Fakultas Ekonomi Islam. Kedua, pendirian lembaga-lembaga keuangan. Ketiga, membangun kerjasama antar lembaga.[5]
Kegiatan penting lainnya adalah pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengelola BPRS (Bank Perkereditan Rakyat Syari’ah). Lulusan dari pelatihan inilah yang menjadi tenaga profesional di berbagai BPRS yang lahir di Sumut seperti BPRS Kafalatul Ummah (1994) Medan-Binjai, BPRS Amanah Bangsa (1994) di Siantar, BPRS Al-Washliyyah (1994) Medan, BPRS Gebu Prima (1996) dan BPRS Puduarta Insani (1996) Tembung Deli Serdang.[6] Jika hari ini IAIN-SU memiliki BPRS Puduarta Insani dan satu-satunya perguruan tinggi Islam yang memiliki Bank, itu adalah hasil kerja keras FKEBI dan pimpinan IAIN-SU kala itu.
Penting dicatat, seminar yang bersejarah tersebut diselenggarakan setelah MUI berhasil melahirkan bank Syari’ah pertama di Indonesia. Menurut Adiwarman Karim, upaya MUI untuk mendorong lahirnya Bank Syari’ah sudah berlangsung sejak tahun 1990. Bahkan pendirian Bank Syari’ah tersebut telah pula ditandatangani pada 1 November 1991, tetapi belum dapat beroperasi karena undang-undang perbankan belum memungkinkan. Ketika UU No 7 Tahun 1992 diterbitkan pada 1 April 1992, tepat satu bulan kemudia 1 Mei 1992, bank Syari’ah pertamapun beroperasi.[7]
Tidak berlebihan jika disebut FKEBI IAIN-SU saat itu tampil menjadi lokomotif kajian dan gerakan ekonomi Syari’ah. Dikatakan kajian karena FKEBI kerap melakukan berbagai macam seminar-seminar baik dalam skala nasional ataupun internasional. Pakar-pakar Ekonomi Islam Dunia banyak yang sudah hadir di Medan. Sebut saja misalnya Prof. Dr. M. A. Mannan[8], Prof. Dr. Masudul Alam Choudry[9], Umar Vadillo[10]. Selanjutnya dikatakan FKEBI sebagai gerakan karena memang FKEBI juga ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah propinsi Sumatera Utara untuk mengembangkan Ekonomi Syari’ah. Kegiatan yang monumental dalam konteks gerakan ini adalah Pencanangan Gerakan Ekonomi Syari’ah pada bulan Muharram yang langsung dimotori oleh Pemerintah Propinsi Sumut di bawah kendali T. Rizal Nurdin selaku gubernur. Kegiatan tersebut oleh K.H. Ma’ruf Amin dalam satu kesempatan disebut-sebut sebagai kegiatan pertama di Indonesia.
Selanjutnya, lahirnya Program Studi Diploma III Manajemen Perbankan dan Keuangan Syari’ah (MPKS) pada tahun 1998 dapat dijadikan momentum sebagai dimulainya kajian ekonomi syari’ah secara akademis. Program DIII MPKS adalah lanjutan Program Diploma II Fak. Syari’ah IAIN-SU yang lahir dua tahun sebelumnya (1996). Peningkatan status program D II ke D III sebenarnya didasarkan pada pertimbangna pasar. Tampaknya, lulusan DIII lebih memiliki peluang yang lebih luas untuk memasuki pasaran kerja ketimbang lulusan D II. Saat ini jumlah mahasiswa Program DIII MPKS sejak tahun akademik 2007-2012 berjumlah 570 mahasiswa, sedangkan alumninya sampai tahun 2012 berjumlah 447 orang dan telah terserap di berbagai industri keuangan syari’ah dan bidang-bidang bisnis lainnya.
Satu hal yang menarik untuk kasus pendidikan tinggi ekonomi Islam di IAIN.SU adalah, program pasca sarjana (PPS) strata 2 prodi Ekonomi Islam lebih dahulu lahir ketimbang program S1 nya. Program S2 IAIN-SU lahir pada tahun 2000 dengan jumlah mahasiswa angkatan pertama sebanyak 20 orang.[11]  Program S1 Ekonomi Islam lahir dua tahun setelah lahirnya S2, tepatnya tahun 2002 dengan jumlah mahasiswa pertama sebanyak 39 orang. Sampai saat ini jumlah mahasiswa S2 sampai tahun 2012 sebanyak 300 orang dengan jumlah mahasiswa aktif sebanyak 75 orang dan yang non aktif (dalam tahap penyelesaian tesis) sebanyak 98 orang. Sedangkan alumninya sebanyak  105 alumni. Adapun alumni S2 EKI saat ini banyak yang bertugas sebagai pengajar atau dosen di berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara. Sedangkan yang lain memilih untuk memasuki dunia kerja, walaupun dalam arti yang sederhana.
Sebagaimana yang telah disebut di muka, S1 Ekonomi Islam IAIN-SU dibuka pada tahun 2002[12]. Program Studi Ekonomi Islam ini ternyata mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat Sumatera Utara dan sekitarnya. Data statisitik menunjukkan adanya trend peningkatan minat mahasiswa baru untuk memilih program ini. Rata-rata setiap tahun ajaran, jumlah pelamar untuk S1 program studi Ekonomi Islam mencapai angka 700-800 pelamar. Adapun daya tampung Program ini lebih kurang 5 lokal atau 200 mahasiswa setiap tahunnya. Sebelumnya, kita hanya bisa menampung 120 orang mahasiswa atau 3 lokal setiap tahun akademik baru.
Untuk menjaga kualitas program, Program Studi Ekonomi Islam sejak awal pendiriannya menggunakan jasa konsultan yang ahli dalam bidang ekonomi Islam yaitu Ir. Adiwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP dari Karim Business Consulting Jakarta, Prof. Dr. Mohd. Azmi Omar dari Islamic International University Malaysia (IIUM) di Malaysia dan Prof. Sofyan Syafri Harahap, SE.Ak, MASc, Phd (alm), Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Direktur Islamic Economic and Finance (IEF) Universitas Trisakti Jakarta. Saya perlu memberi catatan di sini, peran Ir. Adiwarman A Karim cukup signifikan dalam membantu terselenggaranya program S1 Ekonomi Islam. Beliau tidak saja menyusun kurikulum beserta topik intinya tetapi juga ikut menyiapkan buku-buku yang digunakan dalam prodi EKI. Hal ini penting saya sampaikan, karena pada saat itu kita tidak memiliki contoh atau model S1 Ekonomi Islam, karena program studi ini belum ada di Indonesia. Keberanian Prof. Dr. Amiur Nuruddin, MA mengambil langkah-langkah strategis, yang dalam hal-hal tertentu tanpa payung hukum, membuat program tersebut menjadi mungkin berjalan dan dapat eksis sampai hari ini.
Sejak awal berdirinya, kita telah menggariskan bahwa Visi Program Studi Ekonomi Islam adalah, “Unggul dan terkemuka dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan ilmu ekonomi Islam bagi kesejahteraan umat manusia (human falah). Sedangkan misinya adalah (1) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan dan pengajaran ilmu ekonomi Islam dan perbankan syari’ah dalam berbagai aspek dengan menggunakan standar metodologi keilmuan modern secara profesional. (2) Melaksanakan pembinaan sumber daya manusia memasuki dunia kerja dengan mengacu pada sistim pendidikan terpadu yang berbasis kompetensi dengan tujuan mendukung aplikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan pada umumnya. (3) Menanamkan kesadaran profesional akan pendekatan-pendekatan baru dalam membangun ilmu pengetahuan ekonomi, perbankan syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan syari’ah non bank. (4) Meningkatkan dan mengembangkan penelitian dan pengkajian di bidang ekonomi Islam, khususnya perbankan syari’ah dalam rangka memperkokoh Program Studi ekonomi Islam. (5) Menjalin kerjasama secara produktif dengan berbagai lembaga perbankan dan lembaga lainnya.
Demikianlah, atas kerja keras Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Program studi Ekonomi Islam-D3 MPKS, untuk yang pertama kalinya kedua prodi tersebut telah terakreditasi di BAN PT dengan nilai B[13]. Demikian juga untuk S2 juga telah terakreditasi di Ban PT dengan nilai B. Pada masa-masa yang akan datang, diharapkan Program Studi ekonomi Islam yang telah ditetapkan sebagai program unggulan IAIN-SU baik untuk tingkat D3, S1 dan S2 dapat mencapai nilai A. Sampai di sini, peningkatan kualitas lulusan, tenaga pengajar, kurikulum yang unggul dan responsive terhadap perkembangan zaman serta kelengkapan sarana dan prasarana menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah tiga program Studi Ekonomi Islam yang kita miliki, mulai dari Diploma Tiga, Starat 1 dan 2, kini program studi ekonomi Islam kita menjadi sangat lengkap dengan keluarnya izin penyelenggaraan S3 Ekonomi Syari’ah melalui SK Dirjen Pendis nomor 890 tahun 2012 yang ditandatangai tanggal 23 Juli 2012. Izin prodi S3 ini sesungguhnya menunjukkan betapa pemerintah dalam hal ini kementerian Agama sangat mempercayai bahwa IAIN-SU pantas dan layak untuk mengelola program studi Ekonomi Islam di semua level tingkatan. Lebih dari itu, hal ini juga menunjukkan bahwa IAIN-SU sangat tepat menjadikan Ekonomi Islam sebagai program studi unggulannya. Tinggal lagi sekarang, apakah kita mampu membuktikan kepercayaan yang telah diberikan ini dan benar-benar menjadikan IAIN-SU menjadi kiblat kajian dan pengembangan ilmu ekonomi Islam.
  1. C.                Arah Pendidikan Tinggi Ekonomi Islam IAIN-SU
Sebagaimana telah disebut di awal makalah ini, salah satu kendala yang menyebabkan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia terkesan lambat, kendati trendnya terus meningkat adalah persoalan Sumber daya manusianya. Tidak dapat dipungkiri, human intellectual capital memainkan peran penting dalam mendorong kinerja dan daya saing. Inovasi di industri keuangan secara umum dan keuangan syari’ah khususnya membutuhkan tersedianya kepakaran (expertise) dan keahlian (skill). Bukan hanya aspek operesional, tenaga professional juga diperlukan untuk mendukung penelitian dan pengembangan guna memperkuat kapasitas dalam berinovasi.[14]
Menurut Syafi’i Antonio, professional yang dibutuhkan dalam industri keuangan syari’ah agak unik dibandingkan dengan industri konvensional. Para professional di industri keuangan syari’ah dituntut memiliki kompetensi keilmuan dan skill yang “men-senyawa-kan” ilmu syari’ah dan keuangan. Prinsif syari’ah harus “larut” dalam aspek opresional LKS, termasuk dalam mendesain produk-produk perbankan dan struktur keuangan syari’ah, akad keuangan dan pelaksanaannya, manajemen likuiditas dan neraca, dan manajemen resiko.[15]
Idealnya, program studi ekonomi Islam di IAIN-SU khususnya pada strata 1 dan strata 2 harus menguasai; Pertama, menguasai aspek teknis profesi. Sebut saja misalnya, di bidang akuntansi perbankan, alumni ekonomi Islam IAIN-SU khususnya prodi atau konsentrasi akuntansi syari’ah harus menguasi aspek teknis bidang ini secara utuh dan teruji. Kedua, Menguasi aspek filosofis ekonomi Islam. lulusan ekonomi Islam sejatinya tidak hanya menguasi “kulit luar” ekonomi Islam, tetapi juga nilai-nilai filosofi yang mendasari setiap ajaran juga harus dipahami dengan baik. Dengan cara ini sebutan bankir syari’ah “muallaf” tidak lagi terdengar. Ketiga, menguasi aspek fikih ekonomi Islam. dengan kata lain inilah yang disebut aspek normative ekonomi Islam. indikasinya, alumni Ekonomi Islam menguasai dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an ataupun Al-Hadis dan dapat menjelaskannya dengan baik. Keempat, menguasai ilmu ekonomi konvensional setidaknya yang bersifat umum dan menjadi bidang keahliannya. Setidaknya aspek mikro dan makro ekonomi konvensional harus dipahami dengan baik. Kelima, alumni ekonomi Islam yang dihasilkan IAIN.SU juga harus memiliki integritas yang tinggi serta moral yang teruji.
Dari paparan di atas, tergambar dengan jelas, tuntutan keahlian dan keilmuan terhadap lulusan penddikan tinggi ekonomi Islam lebih berat dibanding dengan lulusan ekonomi konvensional. Hal inilah yang menyebabkan beban SKS baik dari sisi kuantitas juga bobot mata kuliah terasa lebih besar.
Dengan jumlah dosen tetap ekonomi Islam di IAIN-SU yang hari ini jumlahnya lebih kurang 27 orang, dengan klasifikasi satu guru besar ekonomi Islam 3 Doktor dan 4 calon Doktor (tahap penulisan disertasi), 22 magister dari berbagai disiplin ilmu ekonomi dan bisnis, terasa masih sangat kurang. Untuk itulah, peningkatan kualitas dosen baik lewat peningkatan strata pendidikan, S2 dan lebih-lebih S3 menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Salah satu yang mendasari urgensi di bukanya program Studi S3 (doktor) dalam bidang ekonomi Islam ini adalah dalam rangka peningkatan kualitas dosen ekonomi Islam baik di PTAI atau di perguruan tinggi umum yang memiliki prodi atau peminatan ekonomi Islam. Jika merujuk kepada data alumni S2 IAIN-SU -belum termasuk alumni S2 IAIN/UIN dan FE umum lainnya- dengan jumlah alumni 105 orang menunjukkan besarnya potensi program ini untuk berkembang. Apabila 50 % saja alumni S2 EKI melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3, berarti kita akan memiliki 50 orang doktor Ekonomi Islam dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan. Pada gilirannya, kualitas pendidikan tinggi ekonomi Islam kita akan semakin kuat dan implikasinya lebih jauh adalah akselerasi pengembangan ekonomi Islam umumnya dan industri keuangan syari’ah pada khususnya dapat dipacu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita membuat Program Studi Doktor (S3) ekonomi Islam ini benar-benar unggul. Jika pada tingkat S1 dan S2 kita melahirkan tenaga-tenaga professional (mujahid al-iqtishad), maka pada S3 kita sesungguhnya akan melahirkan pemikir dan filosof ekonomi Islam atau kita sebut dengan mujtahid fi al-iqtishad. Oleh sebab itu penguasaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Syari’ah menjadi niscaya.
Harus disadari, perkembangan ekonomi syari’ah yang demikian pesat, pada satu sisi harus disyukuri. Namun pada sisi lain, kita juga harus waspada jangan sampai ekonomi syari’ah mengalami penyempitan makna. Saya ingin mengutip orasinya Prof. Sri-Edi Swasono dalam Workshop Nasional Arsitektur Ekonomi Islam di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan,
“Namun compatibility Ekonomi Syari’ah terhadap ekonomi Pancasila akan makin surut apabila (sedang popular saat ini) Ekonomi Syari’ah direduksi dan lebih terpusatkan hanya pada upaya membangun bank-bank syari’ah, seterusnya riba hanya ditinjau dari segi bunga perbankan saja. Riba justru hidup subur di dalam system ekonomi yang eksploitatori secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade-off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah, yang tersubordinasi dan terdiskriminasi, yang membiarkan brutalitas laissez-faire dalam arti luas, yang justru diabaikan oleh mereka yang lengah oleh eforia dalam mengembangkan bank-bank syari’ah tanpa memperhatikan perlunya dekonstruksi dan restrukturisasi system ekonomi yang usurious.[16]
Kritik Sri Edi Swasono sebagai ahli ekonomi Pancasila, Penasehat Menteri PPN/Bappenas dan Guru Besar UI, menarik untuk diperhatikan. Jika kita analisis, perkembangan bisnis syari’ah belakangan ini yang demikian massif, patut membuat kita bergembira. Saya mencatat, laporan Majalah Gatra edisi khusus lebaran 2006 dengan tema, “Spirit Ekonomi Santri,” Edisi Khusus Lebaran 2007 dengan tema, “Booming Bisnis Syari’ah” dan  Edisi Khusus Lebaran 2011, dengan tema “Napas Islam Industri Kreatif” menunjukkan perkembangan bisnis Syari’ah yang sangat spektakuler. Bisnis Islam tidak saja terpaku pada persoalan Bank-bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Sekuritas, Pasar Modal, MLM Syari’ah, Pegadaian, Koperasi, Dinar Dirham, Wakaf, dan Zakat. Tetapi sudah memasuki wilayah fashion syari’ah, salon muslimah, kosmetik syari’ah, software Islami, Situs-situs Islami, sastra religious seperti terlihat pada penerbitan novel-novel Islami, biro perjalanan wisata spiritual, film-film religi, Animasi syari’ah, seni rupa Islami dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan industri kreatif Islami. Tanpa mengabaikan pencapaian-pencapaian tersebut, sesungguhnya kita layak bertanya. Apakah ekonomi Islam berhenti pada tataran berkembangnya bisnis-bisnis syari’ah yang mengedepankan simbol-simbol Islam?.
Hemat saya, semestinyalah kita mengembalikan ruh ekonomi Islam itu dalam upaya penciptaan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kerja besar ekonomi Islam adalah bagaimana menghilangkan ketimpangan dan kesenjangan sosial yang begitu kuat di tengah-tengah masyarakat kita. Bukankah kehadiran Al-Qur’an khususnya ayat-ayat pada priode Makkah adalah dalam rangka menggugat struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyyah yang timpang dan sekaligus memberikan jalan keluar dari problema sosial itu. Kita harus dapat membuktikan bahwa aplikasi ekonomi Syari’ah pada gilirannya akan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera (human falah dan masyarakat falah) sebagai masyarakat ideal yang didambakan Al-Qur’an.
Sekali lagi, sampai di sini, kita memang memerlukan filosof-filosof ekonomi Islam atau mujtahid-mujahid ekonomi Islam yang diharapkan dapat menguatkan dan mengawal perkembangan ekonomi Syari’ah sesuai dengan khittahnya. Saya setuju dengan kesimpulan Sri Edi Swasono bahwa kita memerlukan paradigma baru dalam ilmu ekonomi. Jika diperhatikan, tawaran yang diberikannya sesungguhnya sangat kompatibel dengan ekonomi Syari’ah. Pemikirannya tentang perlunya meninggalkan titik-tolak manusia sebagai homo-economicus, menuju homo ethicus, homo-socious, homo-religious, dan homo humanus, menjadikan manusia (ummat) yang harus diperankan dalam posisi “sentral-substansial” tidak boleh direduksi oleh modal menjadi sekedar “marginal residual” –untuk menyebut beberapa diantaranya- adalah nama lain dari ekonomi Syari’ah, walaupun ia tidak menyebut istilah ekonomi syari’ah.[17]
  1. D.               Intelektual Baru: Integrasi, Hibrida dan Kosmopolitanisme
Berbagai gebrakan keilmuan yang berpusat pada PTAIN telah menjadi perhatian banyak pakar dan lembaga dalam dan luar negeri. Fenomena ini telah dikemukakan oleh hasil penelitian terhadap dampak tamatan luar, terutama dari Kanada, terhadap arah kemajuan keilmuan di perguruan tinggi Islam negeri di berbagai daerah, yang pada gilirannya juga berdampak pada wacana keilmuan di negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini. Hasil penelitian kerjasama CIDA Kanada dan PPIM UIN Jakarta pada awal 2000an telah mengemukakan hal ini.[18]
Hal ini diperkuat kembali oleh penelitian Carool Kersten dari School of Oriental and African Studies (SOAS), London.[19] Kersten menyimpulkan bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia, terutama dimotori oleh IAIN, telah menghasilkan cendekiawan baru yang ‘unik’, hasil dari suatu ‘cultural hybridity’ antara keunggulan tradisi keilmuan Muslim dan kecanggihan kemajuan kepakaran Barat.
Hibriditas ini berhasil tumbuh berkembang cukup baik karena PTAIN relatif mampu menciptakan suasana akademis yang mendukung, interaksi yang sinergis antara berbagai unsur yang bertemu, serta kondisi yang non-sektarian, bahkan kosmpolitan dan integratif. Kosmopolitan, menurut Kersten, ditandai antara lain bukan saja dengan terlampauinya peninggalan cara pandang orientalisme dan/juga oksidentalisme, tetapi juga sikap terbuka terhadap capaian pihak lain. Integrasi bukan saja karena terjadi sinergi antara warisan keilmuan klasik umat Islam (turath) dengan temuan baru kesarjanaan kontemporer, tetapi juga pengayaan pendekatan yang mengarah pada berkembangnya ‘transdisciplinarity’ yang menjanjikan.[20]
Trend lain yang menarik adalah bergesernya fokus perhatian berbagai pengkajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam negeri ini tidak hanya tertumpu pada nostalgia terhadap kejayaan masa lalu, tetapi upaya gigih untuk merebut kesempatan masa kini dan menjawab tantangan masa depan. Perhatian PTAIN tidak hanya berkutat pada permasalahan teoritis, tetapi telah meluas pada upaya terapan praktis dalam menjawab kebutuhan lokal dan regional masa kini dan menjawab tantangan masa depan.[21] Hal ini paling menonjol terlihat terutama pada aspek perekonomian dan kesejahteraan umat Islam.
Apa yang ditemukan oleh peneliti inilah tampaknya yang berkembang di IAIN-SU. Perkembangan akhir terkait hal ini adalah telah ditandatanganinya kesepakatan (MOU) empat IAIN, yang lazim disebut ‘4-in-1’, yakni Semarang, Palembang, Mataram dan Medan yang antara lain menyepakati bahwa program studi unggulan IAIN-SU adalah ekonomi dan bisnis Islam. Tindak lanjut kongkritnya adalah sudah diajukannya proposal penyapihan semua bidang kajian ekonomi dan bisnis menjadi fakultas yang berdiri sendiri (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam).[22] Ini merupakan konsekuensi logis dari telah berkiprahnya dengan baik program pendidikan diploma, S1, S2 dan S3 ekonomi dan bisnis syari’ah serta berbagai lembaga dan kegiatan terkait lainnya.
  1. E.                Catatan Penutup
Program Doktor Ekonomi Islam nantinya diharapkan dapat melahirkan doktor-doktor yang menguasi dengan sangat baik ilmu ekonomi Syari’ah. Penguasaannya itu sama pula baiknya dengan pemahamannya terhadap ilmu ekonomi konvensional dan juga yang kontemporer. Hemat saya, kerangka berpikir Umer Chafra layak untuk kita pertimbangkan. Izinkan saya mengutip apa yang disampaikan Chafra sebagai berikut:
To say that the effort to creat Islamic Economics lead to isolationism is true only if arrogance and bigotry prevail in either one of the two disciplines and prevent mutual interaction. A rational and amicable discussion of different worldviews and disciplines may, in fact, promote greater depth and breadth in the analysis of both disciplines through cross pollination, and thus make the world richer and better off. Feyerabend is, hence, right in asserting that the conformity impairs its critical power. Uniformity also impairs the free development of the individual.[23]
Hemat saya tidak pada tempatnya kita menjadikan ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Lebih-lebih saling menafikan dan menunjukkan keunggulannya masing-masing dalam posisi zero-sum game dan quid pro quo. Gagasan IAIN-SU untuk melakukan integrasi keilmuan dan lebih pada aspek axiologis, dalam artian upaya mewujudkan intelektual ulu al-albab[24] adalah pilihan yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman dan dengan peluang yang terbuka dan tantangan yang berkembang. Ini lebih utama dan menonjol di dalam bidang ekonomi. Semoga Program Doktor yang lahir di IAIN-SU ini mampu untuk memberikan kontribusi positifnya dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam ke depan.

Industri pada zaman sekarang merupakan pilar yang sangat penting dalam perekonomian karena didukung oleh penemuan dan pengembangan sains dan teknologi. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, perkantoran, perdagangan serta pertahanan dan keamanan memanfaatkan alat-alat yang dihasilkan oleh industri.
 Hukum Industri Di dalam Islam, hukum asal industri adalah kepemilikan individu (private proverty) sehingga setiap individu boleh memiliki industri (Al-Maliki: 2001: 74). Meskipun demikian boleh tidaknya seseorang memiliki dan mengembangkan industri tergantung kepada produk yang dihasilkannya. Jika suatu industri menghasilkan produk yang hukumnya haram, seperti industri minuman keras, maka industri tersebut tidak boleh dimiliki dan dikembangkan.

Demikian pula dari sisi kepemilikan terhadap industri tergantung pada produk yang dihasilkannya. Jika produk yang dihasilkan termasuk katagori kepemilikan umum (collective proverty), maka industri tersebut tidak boleh dimiliki dan dikembangkan oleh individu atau swasta, karena status kepemilikan dalam industri tersebut berubah menjadi industri milik umum sehingga harus dikelola oleh negara (ibid: 77).
Sedangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum adalah harta yang ditetapkan Allah untuk dimiliki secara bersama oleh umat (collective) sehingga setiap individu boleh mengambil manfaat dari harta tersebut tetapi dilarang untuk memilikinya (Abdul Qadim Zallum: 2002: 68). Negara sebagai pengelola kepemilikan umum sifatnya sebagai wakil umat bukan sebagai milik negara, agar dengan pengelolaan tersebut umat dapat mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya.
Adapun jenis harta yang termasuk kepemilikan umum adalah sarana-sarana umum yang diperlukan oleh umat dalam kehidupan sehari-hari, harta-harta yang keadaan asalnya terlarang dimiliki oleh individu, dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas. (Mengenai dalil-dalil syar’inya lihat Abdul Qadim Zallum, Taqiyuddin An-Nabhani dan Abdurrahman Al-Maliki).
Konsep kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam ini berbeda dengan barang publik (public goods) dalam konteks Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, barang publik adalah barang yang memberikan manfaat menyebar ke seluruh masyarakat terlepas apakah individu yang ada di masyarakat menginginkannya atau tidak (Samuleson dan Nordhaus: 1997: 365). Jadi barang publik dilihat dari sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan dilihat dari barang tersebut milik umum atau tidak sehingga barang publik konteks ini bisa saja dimiliki pemerintah atau swasta tergantung siapa yang mengadakan barang publik tersebut.
Kebijakan Industri Strategis
Berkaitan dengan industri strategis, paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan oleh negara dalam ekonomi Islam. Pertama, jika jenis industri strategis dari sisi produknya termasuk dalam katagori kepemilikan umum atau dari sisi bahan baku dan sarana-sarana yang digunakannya merupakan barang-barang kepemilikan umum maka industri strategis tersebut merupakan milik umum, sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara.

Industri strategis yang termasuk kepemilikan umum seperti pembangkit listrik, pertambangan minyak bumi dan gas, pengolahan dan penyaluran air bersih, pabrik pengolahan barang tambang, penyedia jasa telekomunikasi yang memanfaatkan sarana-sarana milik umum misalnya jalan raya maupun lautan untuk memasang kabel, tidak boleh diberikan kepemilikan dan pengelolaanya kepada individu atau swasta, sehingga jenis industri strategis yang seperti ini tidak boleh diprivatisasi oleh negara. Justru jika ada swasta yang memiliki jenis industri strategis yang termasuk kepemilikan umum, maka negara harus mengambilalihnya dengan memberikan ganti rugi yang wajar kepada swasta tersebut.
Kedua, jika jenis industri strategis termasuk dalam katagori suatu sarana atau peralatan yang diwajibkan oleh syara’ untuk diadakan oleh negara maka negara harus memiliki dan mengembangkan industri tersebut agar negara menjadi mandiri, kuat, dan mampu melayani rakyatnya.
Meskipun demikian, hal ini tidak memposisikan industri strategis dalam golongan ini mutlak masuk dalam katagori kepemilikan umum. Bisa saja industri katagori ini dimiliki individu selama karakteristik dan produk yang dihasilkan industri tersebut tidak termasuk kepemilikan umum. Misalnya industri otomotif, industri pesawat terbang tidak termasuk kepemilikan umum sehingga swasta boleh memilikinya. Hanya saja industri-industri strategis tersebut memerlukan modal yang besar dan pengorganisasian yang kuat dan negaralah memiliki kemampuan yang lebih besar untuk membangunnya.
Strategi industris strategis dalam Islam harus selaras dengan tujuan-tujuan syariah (maqashid as-syar’iyyah) antara lain memelihara keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, keamanan, dan negara. Karena itu, negara berkewajiban membangun dan menguasai industri strategis yang memang dibutuhkan dalam mencapai tujuan-tujuan syariat.
Industri strategis yang termasuk dalam kepemilikan umum maka otomatis negara harus membangun dan mengelolanya untuk kemaslahatan umat. Juga industri strategis yang karena sebab-sebab tertentu syara’ mewajibkan negara untuk memproduksinya, seperti industri militer dan pertahanan, industri telekomunikasi, industri otomotif, industri pesawat terbang dan ruang angkasa, industri perkapalan, industri baja, dan lain-lainnya.
Dibangunnya industri-industri tersebut dalam rangka pertahanan dan keamanan negara termasuk demi tersebarnya risalah Islam, terlayaninya berbagai kebutuhan masyarakat dengan adanya fasilitas umum, terpenuhinya berbagai kebutuhan pokok, sekunder dan tersier setiap anggota masyarakat dengan tersedianya produk-produk industri baik berupa peralatan maupun barang-barang konsumtif.
Penguasaan atas industri strategis yang notabene merupakan basisnya industri atau industri yang dapat menghasilkan industri lainnya, membawa keuntungan yang besar bagi negara dan masyarakat. Pertama, kita tidak tergantung lagi kepada bangsa asing sehingga tidak dapat didikte dan dijajah oleh negara-negara Kapitalis. Kedua, kepemilikan atas industri-industri strategis akan membuat biaya produksi industri strategis itu sendiri dan industri turunannya menjadi lebih efisien karena pihak asing tidak dapat mempermainkan kita lagi. Keadaan ini juga menyebabkan harga produk industri yang dijual ke masyarakat menjadi lebih murah.
Kebijakan seperti inilah yang seharusnya ditempuh pemerintah jika memang berniat untuk mandiri dan mensejahterakan rakyat, bukannya melikuidasi dan memprivatisasi industri strategis yang sudah dimiliki. Wallahu a’lam.


 Dampak Inflasi dan ‎Penggangguran Terhadap ‎Perekonomian
(oleh: Salman husin)

Latar belakang
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yangsecara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli darimasyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil.Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi dinegara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut.
Melalui makalah inilah saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dan inflasi dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan kami sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbasdari krisis ekonomi sejak tahun 1997.

 PEMBAHASAN
INFLASI
a) Pengertian Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
b) Penyebab terjadinya inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, pertama yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu :
kenaikan harga, misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
c) Penggolongan
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
a) Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
b) Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
c) Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
d) Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)

d) Mengukur inflasi
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya:
  • Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
  • Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
  • Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
  • Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
  • Indeks harga barang-barang modal
  • Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
e) Dampak
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
f) Dampak inflasi terhadap perekonomian
Secara garis besar dampak inflasi terhadap perekonomian antara lain:
  1. terhambatnya pertumbuhan ekonomi negara, karena berkurangnya investasi dan berkurangnya minat menabung.
  2. masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak dapat menjangkau harga barang, karena harga barang mengalami kenaikan.
  3. jika terdapat kebijakan untuk mengurangi inflasi, maka akan terjadi pengangguran, karena pemerintah berusaha untuk menekan harga.
  4. masyarakat akan cenderung untuk menyimpan barang daripada menyimpan uang.
  5. nilai mata uang turun, karena adanya kenaikan harga barang.

PENGGANGGURAN
a) Pengertian Pengangguran
Pengertian Pengangguran Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah “pengangguran terselubung” di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

b) Penyebab Pengangguran
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah “pengangguran terselubung” di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
c) Jenis dan macam pengangguran
      1) Berdasarkan jam kerja
Berdasarkan jam kerja, pengangguran dikelompokkan menjadi 3 macam:
• Pengangguran Terselubung (Disguised Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu.
• Setengah Menganggur (Under Unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.
• Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal.
     2) Berdasarkan penyebab terjadinya
Berdasarkan penyebab terjadinya, pengangguran dikelompokkan menjadi 7 macam:
• Pengangguran friksional (frictional unemployment), Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
• Pengangguran konjungtural (cycle unemployment), Pengangguran konjungtoral adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.
• Pengangguran struktural (structural unemployment), Pengangguran struktural adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktural bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti:
a) akibat permintaan berkurang
b) akibat kemajuan dan pengguanaan teknologi
c) akibat kebijakan pemerintah
• Pengangguran musiman (seasonal Unemployment), Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, pedagang durian yang menanti musim durian.
• Pengangguran siklikal, Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
• Pengangguran teknologi, Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin.
• Pengangguran siklus, Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian karena terjadi resesi. Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (aggrerate demand).
d) Kebijakan-Kebijakan Pengangguran
Adanya bermacam-macam pengangguran membutuh-kan cara-cara mengatasinya yang disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sebagai berikut.
     1) Cara Mengatasi Pengangguran Struktural
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang digunakan adalah :
  • Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja.
  • Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sector yang kelebihan ke tempat dan sektor ekonomi yang kekurangan.
  • Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan (lowongan) kerja yang kosong, dan
  • Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami pengangguran.
     2) Cara Mengatasi Pengangguran Friksional
Untuk mengatasi pengangguran secara umum antara lain dapat digunakan cara-cara sebagai berikut.
  • Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya.
  • Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru.
  • Menggalakkan pengembangan sektor informal, seperti home industry.
  • Menggalakkan program transmigrasi untuk menyerap tenaga kerja di sektor agraris dan sektor formal lainnya.
  • Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bisa menyerap tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi baru dari kalangan swasta.

     3) Cara Mengatasi Pengangguran Musiman
Jenis pengangguran ini bisa diatasi dengan cara sebagai berikut.
  • Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sektor lain, dan
  • Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu ketika menunggu musim tertentu.

     4) Cara Mengatasi Pengangguran Siklus
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini antara lain dapat digunakan cara-cara sebagai berikut.
  • Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, dan
  • Meningkatkan daya beli masyarakat
e) Dampak Pengangguran terhadap Pembangunan Ekonomi
Untuk mengetahui dampak pengganguran terhadap perekonomian kita perlu mengelompokkan pengaruh pengganguran terhadap dua aspek ekonomi , yaitu:
1) Dampak Pengangguran terhadap Perekonomian suatu Negara
Tujuan akhir pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam keadaan naik terus.Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang telah dicita-citakan.Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
  1. Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.
  2. Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sector pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian me-nurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar dari masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintah juga akan berkurang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun
  3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya pengangguran akan menye-babkan daya beli masyarakat akan berkurang sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan Investor (pengusaha) untuk melakukan perluasan atau pendirian industri baru. Dengan demikian tingkat investasi menurun sehingga pertumbuhan ekonomipun tidak akan terpacu.
2) Dampak pengangguran terhadap Individu yang Meng-alaminya dan Masyarakat
Berikut ini merupakan dampak negatif pengangguran terhadap individu yang mengalaminya dan terhadap masyarakat pada umumnya:
  1. Pengangguran dapat menghilangkan mata pencaharian
  2. Pengangguran dapat menghilangkan keterampilan
  3. Pengangguran akan menimbulkan ketidakstabilan social politik.

——————–

A. Kesimpulan
Kesimpulan Dari berbagai uraian diatas mengenai macam dan sebab, serta cara menanggulangi inflasi, kita telah menahami bahwa inflasi pada tingkat yang rendah akan berfungsi mendorong perkembangan perekonomian, sedangkan inflasi pada laju yang tinggi justru akan menghambat perkembangan perekonomian. Inflasi dapat disebabkan oleh tarikan permintaan yang biasanya timbul karena meningkatnya anggaran defisit pemerintah, dan dapat pula dikarenakan oleh meningkatnya biaya produksi karena desakan kenaikan upah tenaga kerja oleh para organisasi buruh. Terdapat suatu trade-off antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran, yaitu bila tingkat inflasi ditekan, tingkat pengangguran meningkat; sebaliknya bila tingkat pengangguran ditekan tingkat inflasi akan menjadi lebih cepat; padahal kedua keadaan itu sama-sama tidak menyenangkan bagi masyarakat. Inflasi yang sudah berkembang cepat perlu ditanggulangi karena akan merusak struktur perekonomian, dan inflasi dapat ditanggulangi secara cepat, namun dibarengi dengan timbulnya angka pengangguran yang tinggi, dan alternative lain inflasi dapat ditanggulangi secara perlahan, tetapi penyembuhan inflasi menjadi tidak jelas walaupun dibarengi dengan tingkat pengangguran yang rendah. Tindakan yang diambil dapat dengan mengurangi jumlah uang yang beredar, dengan himbauan, dan dapat pula dengan insentif perpajakan dan kebijakan penghematan, atau dengan campuran dari semua kebijakan itu.